BANDA ACEH – Penanews.co.id — Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Banda Aceh (BPOM Aceh), Yudi Noviandi, melakukan audiensi dengan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, di Pendopo Gubernur Aceh, Selasa (19/08/2025).
Pertemuan ini menjadi tindak lanjut dari permohonan dukungan strategis BPOM Aceh dalam upaya percepatan penerbitan Surat Edaran (SE) Gubernur tentang Pengendalian Resistensi Antimikroba (AMR) di Aceh.
Audiensi tersebut turut dihadiri oleh perwakilan Kwarda Gerakan Pramuka Aceh, Djufri Efendi, Ketua Tim Inspeksi Obat, Naila serta Ketua Tim Program Prioritas Nasional BPOM Aceh, Endang Yuliawati. Kehadiran ini menandai pentingnya kolaborasi bersama dalam mengatasi persoalan serius terkait penggunaan antibiotik tanpa resep dokter yang marak terjadi di Aceh.
Dalam paparannya, Yudi Noviandi menekankan bahwa penggunaan antibiotik secara bebas di masyarakat telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil pengawasan BPOM RI tahun 2024, tercatat 83,7% antibiotik di Aceh diperoleh tanpa resep dokter, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 70,59%. Kondisi ini menempatkan Aceh sebagai daerah dengan prevalensi tertinggi di Indonesia.
“Data ini sangat memprihatinkan. Jika tidak segera dikendalikan, risiko meningkatnya resistensi antimikroba akan semakin besar dan berpotensi menimbulkan silent pandemic pada tahun 2050. Aceh tidak boleh menjadi episentrum masalah kesehatan global di masa depan,” ujar Yudi dengan tegas.
Lebih lanjut, Yudi menekankan bahwa pengendalian resistensi antimikroba bukan hanya menjadi tanggung jawab tenaga kesehatan, tetapi juga membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah daerah dan kesadaran masyarakat. “Kami berharap dengan adanya Surat Edaran Gubernur, seluruh apotek, klinik, dan rumah sakit dapat lebih disiplin dalam penyaluran antibiotik. Edukasi kepada masyarakat pun harus terus diperkuat agar tidak ada lagi pembelian antibiotik sembarangan,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, memberikan apresiasi terhadap inisiatif dan konsistensi BPOM Aceh dalam menjaga kesehatan masyarakat. Ia menegaskan komitmennya untuk segera menerbitkan Surat Edaran yang ditujukan kepada seluruh Bupati dan Wali Kota di Aceh.
“Saya sangat mengapresiasi langkah BPOM Aceh. Pemerintah Aceh akan segera menindaklanjuti dengan penerbitan Surat Edaran agar apotek dan sarana kesehatan (Sarkes) lebih tertib, yaitu hanya menyerahkan antibiotik kepada pasien dengan resep dokter. Ini langkah penting demi melindungi masyarakat dari ancaman resistensi antimikroba,” ungkap Muzakir.
Ia juga menambahkan bahwa regulasi tersebut akan diikuti dengan pengawasan ketat, serta koordinasi bersama BPOM, Dinas Kesehatan, dan pihak terkait lainnya. “Target kita, penyaluran antibiotik tanpa resep di Aceh bisa ditekan hingga 50%. Dengan begitu, risiko resistensi antimikroba dapat diminimalisir dan kualitas layanan kesehatan masyarakat akan meningkat,” pungkasnya.
Pertemuan ini menegaskan komitmen bersama antara BPOM Aceh dan Pemerintah Aceh dalam mewujudkan sistem kesehatan yang lebih aman, terkendali, dan berkelanjutan. Dengan dukungan regulasi, diharapkan Aceh dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam upaya menekan laju resistensi antimikroba di Indonesia.