Saatnya Membangun Karakter Cerdas dan Bijak – Lebih 150 Siswa Baru SMA Labschool ikut MPLS bersama GEN-A

banner 120x600
“Remaja, Dunia Digital, dan Tantangan Kesehatan Mental”

BANDA ACEH – Dunia digital telah menjadi lanskap utama kehidupan remaja Indonesia saat ini. Namun di balik layar ponsel dan media sosial, tersembunyi kompleksitas yang tak sedikit berkontribusi pada meningkatnya tekanan mental generasi muda. Dalam konteks inilah, lebih dari 150 siswa kelas 10 SMA Labschool Unsyiah mengikuti sesi edukasi bertema Membangun Karakter Pemuda Cerdas & Bijak di Era Digital bersama GEN-A (Generasi Edukasi Nanggroe Aceh), dalam rangkaian Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) tahun ajaran 2025/2026.

Go Atjeh Go Atjeh Go Atjeh

Direktur Eksekutif GEN-A, dr. Imam Maulana, mengungkapkan di tengah ketergantungan yang semakin tinggi terhadap gawai, para remaja menghadapi tekanan sosial yang belum tentu mereka pahami atau mampu kendalikan. Dari paparan informasi yang berlebihan, perbandingan hidup di media sosial, hingga kecemasan akan citra diri dan cyberbullying, para remaja terjebak dalam ruang digital yang sering kali menuntut lebih banyak daripada memberi.

Menurut Imam Maulana, yang juga Edukator Kesehatan Mental sekaligus narasumber utama kegiatan ini, persoalan kesehatan mental remaja tak bisa lagi dipisahkan dari dinamika kehidupan digital mereka.

“Kita sedang menghadapi generasi yang mengalami tekanan tak terlihat. Mereka terlihat aktif, produktif, bahkan lucu di TikTok — tapi di balik itu, banyak yang kesepian, cemas, dan tidak tahu ke mana harus bicara,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima penanews.co.id.

Kesehatan Mental dan Karakter Digital

Selanjutnya salah seorang edukator GEN-A yang juga mahasiswa Pendidikan Dokter FK Abulyatama, Annisa Putri m ngungkapkqn, alih-alih hanya menyampaikan definisi teknis atau aturan bermedia sosial, sesi edukasi ini lebih menekankan penguatan karakter dan kesadaran diri. Remaja diajak memahami bahwa cerdas bukan sekadar pintar akademik, dan bijak bukan hanya soal bersikap sopan. Keduanya adalah fondasi penting untuk membangun kesehatan mental yang kokoh di era digital.

“Karakter bukan hanya tentang apa yang kamu tahu, tapi siapa kamu saat tidak ada yang melihat. Bagaimana kamu memperlakukan orang lain di kolom komentar adalah cerminan siapa kamu sebenarnya,” jelas Annisa.

Disesi selanjutnya Aiza salah seorang edukator yang memfasilitasi sesi reflektif dan kuis interaktif, yang juga mahasiswa Ilmu Pemerintahan USK, mengungkapkan dalam kelas terbuka selama dua jam tersebut, peserta dikenalkan lima pilar karakter cerdas dan bijak di era digital: integritas digital, literasi & berpikir kritis, kreativitas, empati & toleransi, serta manajemen diri.

“Setiap pilar dikemas dalam contoh konkret: dari bagaimana mengenali dan menghindari hoaks, melindungi data pribadi, menyadari jejak digital yang tak pernah hilang, hingga praktik membatasi penggunaan media sosial untuk menjaga keseimbangan hidup,” ungkapnya.

“Otak kita lebih canggih dari algoritma mana pun. Tapi kalau tidak dilatih berpikir kritis, kita bisa diperdaya konten sesat atau jadi korban manipulasi,” tambah Aiza.

Digitalisasi dan Tekanan Tak Kasat Mata

Co-trainer dari tim edukator GEN-A yang juga mahasiswa Pendidikan Dokter FK USKFarah Novilianti Irawan mengupas tentang Fenomena Fear of Missing Out (FOMO), kecemasan sosial, dan citra diri yang dibentuk dari likes atau followers telah menjadi pemicu tekanan psikologis baru bagi remaja.

Menurutnya paparan berlebihan terhadap kehidupan sempurna orang lain di media sosial menciptakan standar ilusi yang tidak realistis. Tidak sedikit yang akhirnya merasa kurang berharga, tertinggal, bahkan kehilangan arah.

Farah menambahkan, kasus perundungan siber juga kian meningkat. Banyak remaja yang menjadi sasaran ejekan, fitnah, atau intimidasi di ruang digital, namun merasa malu atau takut untuk melapor. Dalam sesi ini, siswa dibekali strategi menghadapi tekanan digital, termasuk cara mengelola emosi, membangun ketahanan mental, dan mencari bantuan ketika diperlukan.

“Kami ingin anak-anak tahu bahwa sehat mental juga berarti tahu kapan harus istirahat dari gawai, kapan harus berbicara, dan kapan harus mengabaikan hal-hal yang tidak membangun,” Ujar Farah,

Dari Edukasi ke Transformasi

Imam Maulana menambahkan alih-alih hanya menjadi ajang ceramah satu arah, sesi edukasi ini dikembangkan sebagai ruang dialog terbuka yang memicu refleksi diri. Para peserta juga terlibat dalam kuis literasi digital, bernyanyi dan senam tangkal hoaks, hingga tanya jawab interaktif.

Maulana mengungkapkan salah satu peserta, Hafizh Alshidiqi (17), mengaku bahwa kegiatan ini membantunya lebih menyadari dampak media sosial terhadap emosinya. “Ternyata banyak hal yang saya anggap biasa, padahal bisa berbahaya buat mental saya. Seperti membandingkan diri terus-terusan sama orang lain di Instagram, ikutan tren FOMO. Setelah ikut sesi ini, saya lebih paham cara jaga diri,” ujarnya. “Kegiatan sangatlah menarik, pembawaan dari tim narasumber yang interaktif, asik dan ada games, nyanyian, dan senam edukatif buat kami senang. terbaik deh pokoknya” jelasnya Hafizh yang juga Ketua OSIS seperti dikutip Imam.

Menuju Generasi yang Tangguh dan Berdaya

Imam menegaskan, membangun generasi cerdas dan bijak digital bukan sekadar tugas guru TIK atau konselor sekolah. “Ini kerja lintas peran: sekolah, keluarga, komunitas, bahkan negara. Kita harus menciptakan ekosistem yang mendorong pertumbuhan karakter dan kesehatan mental anak muda secara menyeluruh,” tegasnya.

Ia juga menekankan bahwa literasi digital tak boleh berhenti pada soal keamanan daring atau pengenalan teknologi semata. “Harus naik kelas. Kita ajak remaja untuk berpikir etis, berempati, bertanggung jawab, dan produktif di ruang digital. Mereka bukan sekadar konsumen, tapi juga warga digital yang punya kuasa dan dampak.”

Kolaborasi bersama OSIS SMA Labschool Unsyiah ini ada bagian dari upaya GEN-A dalam menyiapkan generasi Aceh yang bukan hanya unggul secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan sosial. “Kami percaya bahwa kesehatan mental adalah fondasi penting dari karakter bangsa. Remaja yang cerdas dan bijak secara digital adalah aset masa depan,” tambah Imam Maulana, yang juga praktisi kesehatan masyarakat.

Kegiatan ini menandai langkah penting dalam membangun kesadaran bahwa teknologi harusnya menjadi alat pemberdaya, bukan sumber tekanan. Sebab, membentuk karakter yang kuat dan sehat tidak bisa ditunda, terlebih di tengah dunia digital yang tidak mengenal waktu.[Imam Maulana]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *