Mahasiswa Kristen, Laura Amandasari: Kampus Muhammadiyah Rumah Kedua Saya

banner 120x600

MEDAN — Perguruan Tinggi Muhammadiyah-’Aisyiyah (PTMA) tidak hanya diperuntukkan bagi warga Muhammadiyah atau umat Islam, melainkan terbuka bagi siapa saja yang ingin menimba ilmu di dalamnya.

Hal ini dibuktikan oleh pengalaman Laura Amandasari, seorang mahasiswa beragama Kristen Protestan yang baru saja diwisuda dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) pada Selasa (08/07/2026).

Go Atjeh Go Atjeh Go Atjeh

Laura mengaku sempat ragu untuk berkuliah di UMSU karena perbedaan latar belakang agama. Namun, kekhawatirannya justru berubah menjadi kebanggaan setelah merasakan lingkungan kampus yang inklusif dan penuh toleransi.

“Awalnya saya ragu karena perbedaan, tetapi saya justru menemukan rumah kedua di UMSU. Kampus ini tidak hanya menjadikan toleransi sebagai jargon, tetapi sebagai praktik nyata,” kata Laura dikutip Muhammadiyah.or.id.

Selama menempuh pendidikan, Laura tidak hanya fokus pada akademik, tetapi juga aktif berorganisasi. Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Komunitas Peradilan Semu (KPS) Fakultas Hukum UMSU periode 2023-2024. Pengalamannya ini semakin memperkaya wawasannya tentang pentingnya kolaborasi dan saling menghargai dalam keberagaman.

Tak hanya dirinya, banyak juga mahasiswa non-muslim yang kuliah di UMSU. Mereka merasa diperlakukan dengan baik, tidak ada diskriminasi, keadilan dan toleransi diterapkan, tidak hanya berhenti menjadi papan jargon promosi kampus.

“Saya Laura Amandasari mahasiswa Kristen Protestan. Di sini saya bukan mewakili diri saya sendiri tentunya, tapi juga ingin menyuarakan kisah saya yang saya yakin mewakili teman-teman sekalian,” imbuhnya.

Kualitas Pendidikan Unggul dan Menjunjung Keadilan

Menceritakan awal masuk UMSU, Laura menyebut alasan utamanya karena akreditasi UMSU yang sudah unggul. Keputusan ini diambil sesuai dengan pesan guru SMA nya agar tidak downgrade.

Meski sudah memutuskan memilih UMSU, namun dirinya masih kebingungan akan bagaimana nasibnya ke depan – sebagai anak dari keluarga Protestan namun kuliah di kampus Muhammadiyah, orang tuanya khawatir putri kesayangannya dikucilkan.

“Pak, aku enggak dikucilkan. Aku diterima di sini. Dan memang benar kekhawatiran saya pelan-pelan itu terbukti. Karena apa? saya diterima memang dan bapak saya mulai memahami bahwa di sini tidak ada ruang untuk diskriminasi,” kata Laura.

Tak sampai di situ, Laura mengaku punya kenangan yang terlupakan selama menempuh pendidikan di UMSU, yakni ketika ada program wakaf Al Qur’an pada Bulan Ramadan tahun 2024.

“Bagi saya teman-teman, ini bukan pengalaman lintas iman saja, tapi bagaimana kita belajar tentang kebersamaan, toleransi, dan kemanusiaan. Sebab akhirnya yang paling dikenang adalah bukan pencapaian atau kebaikan, tapi kebaikan yang tertinggal saat kita pergi,” imbuhnya.

“Jika teman-teman pernah mendengar kalimat toleransi di kampus kita, ini bukan hanya sebuah jargon tapi nilai indah diimplementasikan oleh Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara,” sambung Laura.

Di UMSU dirinya mendapat tak hanya ilmu, tapi nilai dan pandangan hidup seperti rasa hormat, kasih, toleransi, dan semua itu menurutnya adalah pondasi untuk membangun peradaban damai di masa mendatang.

“Karena sampai detik ini saya wisuda, saya masih sebagai seorang Kristen Protestan di tengah-tengah ramainya wisudawan muslim di Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara,” katanya.

Kisah Laura menjadi bukti nyata bahwa PTMA, termasuk UMSU, adalah lembaga pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan kesetaraan bagi seluruh sivitas akademikanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *