JAKARTA – Di balik sempitnya peluang kerja dan mahalnya harga kebutuhan hidup, Musarotun (29) menaruh harap pada sepasang sepatu boot dan sebongkah tekad.
Seperti dilansir Kompas.com, Senin (07/07/2025), Musarotun bukan siapa-siapa, bukan pula tokoh besar. Namun langkahnya menyusuri selokan di Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pekan lalu, adalah potret kecil tentang seorang ibu, seorang sarjana, yang menolak tunduk pada keadaan.
Musarotun adalah satu dari ribuan pelamar yang mendaftar menjadi petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU).
Di hari uji praktik, ia tak ragu mencemplungkan diri ke dalam selokan penuh lumpur dan sampah. Bukan karena tidak tahu jijik, tapi karena tahu persis, ada harga hidup yang harus dibayar, dan itu tidak murah.
Ia seorang sarjana akuntansi, lulusan perguruan tinggi di Jakarta. Namun ijazah itu telah lama terlipat rapi, tertindih oleh kenyataan bahwa mencari pekerjaan bukan lagi soal nilai, tapi soal kesempatan yang kian langka.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, apa pun akan ia kerjakan asal halal. Termasuk menyapu jalan, memanjat pohon, mencangkul, dan kini membersihkan selokan dengan tangan telanjang, tanpa sarung tangan seperti rekan-rekan lain.
Ibu dua anak ini mengikuti tahapan demi tahapan uji praktik lapangan rekrutmen PPSU dengan kesungguhan. Dengan karung putih di tangan, ia memunguti sampah satu per satu dari dalam got. Bahkan saat harus naik kembali ke atas, ia sempat kesulitan, tertahan oleh sepatu boot yang tenggelam di dasar selokan.
“Alhamdulillah dari tadi tesnya seru. Nyebur ke sekolahan juga enggak jijik,” ucapnya sambil tertawa, dikutip dari Wartakotalive. Senin (07/07/2025).
Musarotun datang dengan modal nekat. Ia tahu, hanya ada enam kursi yang tersedia di kelurahan itu, dan ratusan pelamar yang menginginkannya. Tapi ia percaya, mungkin, hanya mungkin, kali ini gilirannya untuk diterima.
“Sebelumnya saya ibu rumah tangga, ngurus-ngurus rumah. Daftar PPSU harapannya untuk kemajuan ekonomi keluarga,” katanya.
Bukan hanya Musarotun yang datang dengan gelar sarjana. Di Kelurahan Serdang, Kemayoran, dua perempuan lainnya, Nabila (27) dan Febrina Nuranisa (32), juga hadir dalam seleksi PPSU.
Nabila dan Febriana pun lulusan S1 Akuntansi. Tapi gelar tak selalu menjamin lapangan kerja.
“Alasan yang pertama ingin cari kerja, yang kedua memang sudah terbiasa beberes rumah, dan sekarang ini kan memang lagi susah mencari pekerjaan, selagi ada peluang di depan mata ambil aja dulu,” kata Nabila dan Febrina.
Sekretaris Lurah (Sekkel) Serdang, M Imron Sumadi, mengatakan bahwa dari 127 pelamar, tujuh orang melamar dengan ijazah S1.
“Yang hadir enam orang,” ujarnya.
Menurut Imron, tidak ada syarat khusus untuk bisa diterima. Terpenting, pelamar harus sanggup membersihkan, mencangkul, dan menjaga lingkungan.
“Pada prinsipnya apa yang dibutuhkan dapat dilakukan,” kata dia.
Gaji sebagai PPSU memang bukan mimpi besar, tapi cukup untuk menjaga dapur tetap mengepul.
Berdasarkan Pergub yang berlaku, gaji PPSU disesuaikan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta, yakni sekitar Rp 5,3 juta per bulan. Belum termasuk jaminan kesehatan, ketenagakerjaan, dan tunjangan hari raya (THR).
Pekerjaan ini juga menjanjikan kejelasan status dan perlindungan sosial, dua hal yang semakin langka di tengah pasar kerja yang tak ramah pada pencari kerja berijazah tinggi namun tak berpengalaman.
Di Jakarta, ada puluhan ribu petugas PPSU yang tersebar di 267 kelurahan. Di antara mereka, mungkin ada lebih banyak Musarotun, Nabila, atau Febrina.
Para sarjana yang turun ke selokan, memegang cangkul, menyapu jalan, bukan karena menyerah pada nasib, melainkan karena mereka memilih untuk tetap berjuang. Dan di antara lumpur dan sampah yang mereka bersihkan, ada sesuatu yang tak terlihat, harga diri mereka dan harapan yang diusung, agar anak-anak mereka tak harus menempuh jalan yang sama.[]