BANDA ACEH – Aroma kompromi mulai tercium. Di balik aksi demonstrasi penolakan Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) yang sempat menggetarkan ruang publik, kini muncul dugaan baru: seorang mantan Presiden Mahasiswa (Presma) UIN Ar-Raniry dan kelompoknya diduga menerima “hadiah khusus” dari Panglima Kodam Iskandar Muda.
Dugaan ini mencuat tak lama setelah aksi protes yang awalnya penuh semangat dan narasi perlawanan berbalik menjadi forum silahturahmi yang akrab. Beberapa tokoh mahasiswa yang sebelumnya lantang menolak kehadiran militer justru kini terlihat nyaman berada di barisan Pangdam, dalam suasana yang jauh dari kritis.
Beredar kabar, hadiah atau bingkisan tertentu diterima oleh oknum mantan Presma beserta koloninya sebagai bentuk “penghargaan” atas kontribusinya meredam eskalasi massa. Meski belum ada klarifikasi resmi, masyarakat sipil mulai mempertanyakan etika dan integritas gerakan mahasiswa hari ini.
“Mereka dulu orasi menolak militer, hari ini berfoto mesra dan membawa pulang oleh-oleh,” ujar salah satu mahasiswa aktif yang hadir dalam aksi awal, namun memilih mundur setelah melihat arah gerakan membelok.
Dugaan ini juga menimbulkan kecemasan di kalangan aktivis dan akademisi: apakah gerakan mahasiswa hari ini masih independen, atau telah menjadi satelit dari kekuasaan?
Sejumlah aktivis menyerukan agar UIN Ar-Raniry, sebagai institusi akademik, melakukan klarifikasi moral terhadap para alumninya yang terlibat. Bukan soal legal atau tidaknya hadiah itu, melainkan soal akhlak dan konsistensi perjuangan.
Karena kalau benar suara mahasiswa bisa diredam hanya dengan bingkisan dan foto bersama, maka publik patut khawatir: siapa lagi yang akan dijadikan tameng demokrasi, padahal sejatinya sedang bermain di sisi penguasa?
================
Penulis : Muhammad Akal sehat