Dalam memahami kaidah dan hukum tanah wakaf, maka wakaf merupakan suatu amalan sunnah yang dianjurkan agama, kemudian menjadi wajib dilaksanakan jika dibuat dengan menggunakan wasiat.
Ummat Islam memberikan hartanya untuk wakaf karena ikhlas mencari keridhaan Allah Subhnahuwata’ala. Dalam hal pemahaman secara ekonomi wakaf, mempunyai arti penting dalam membantu perekonomian ummat, menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, sehingga terwujud kehidupan masyarakat, serta perekonomian masyarakat lebih sejahtera.
Dalam hal ini, sesungguhnya diperlukan suatu panduan serta manajemen pengelolaan harta wakaf yang baik serta benar. Maka dasar kaidah dan pedoman wakaf yang dimaksudkan sebagai pedoman bagi pengurus sebagai nazhir dalam mengelola harta benda wakaf, serta para muhsin yang ingin berwakaf.
Selanjutnya, Secara etimologi, wakaf berasal dari bahasa Arab waqf, yaitu masdar dari kata kerja waqafa, mempunyai berbagai makna yaitu, berhenti (وقف) mencegah(منع) dan menahan (al-habs/ الحبس). Kemudian dalam fiqih ulama, untuk mengartikan wakaf mengikuti istilah bahasa yaitu al-habs artinya menahan, karena kata al-habs lebih mendekati pengertian syara’.
Disamping itu perkataan al-habs lebih banyak dipergunakan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam beberapa hadistnya, antara lain hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari, yang artinya: “Wakafkanlah tanah itu dan berikanlah hasil buahnya sebagai sedekah”. Sehingga jelas bahwa, wakaf merupakan suatu amalan sunnah yang dianjurkan agama, kemudian menjadi wajib dilaksanakan jika dibuat dengan menggunakan wasiat. Dimana ummat Islam memberikan hartanya untuk wakaf karena ikhlas mencari keridhaan Allah Subhnahuwata’ala.
Dalam hal pemahaman secara ekonomi wakaf, mempunyai arti penting dalam membantu perekonomian ummat, menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, sehingga terwujud kehidupan masyarakat, serta perekonomian masyarakat lebih sejahtera.
Dalam hal ini, sesungguhnya diperlukan suatu panduan serta manajemen pengelolaan harta wakaf yang baik serta benar.
Demikian juga, landasan pedoman wakaf yaitu, pedoman wakaf yang dimaksudkan sebagai pedoman bagi pengurus sebagai nazhir dalam mengelola harta benda wakaf, serta para muhsin yang ingin berwakaf.
Jika merujuk kepada Muhammad ‘Arfah al-Dasuqi, menyatakan bahwa, wakaf memberikan manfaat sesuatu harta yang dimiliki kepada orang yang berhak dengan suatu tekad dalam jangka waktu tertentu, sesuai dengan keinginan pemberi wakaf (waqif).
Hal ini juga selaras dengan dengan pendapat ulama tersebut di atas, Ibn Qudamah, mengatakan bahwa, wakaf adalah menahan yang asal dan memberikan hasilnya. Dalam hal ini ulama menafsirkan perkataan “shadaqah jariah” dengan yang maksudkan adalah wakaf, karena pahala shadaqah jariah terus menerus mengalir kepada orang yang melakukannya, sementara itu sedekah yang lain pahalanya tidak berkepanjangan mengalir seperti shadaqah amal jariah dan wakaf.
Maka semua ulama sangat sepakat terhadap hal ini, shadaqah jariah yang amalnya terus mengalir adalah wakaf. Dengan demikian bahwa, ini sebaiknya dipahami dalam konteks yang lebih luas berdasarkan ketentuan serta aturan wakaf yang sesungguhnya.
Ada beberapa hal yang prinsipil terhadap pengelolaan harta wakaf sehingga tidak terjadi kesalahan serta akibat buruk terhadap tidak konsistennya pemahaman tentang wakaf itu sendiri.
Pertama, harta wakaf tidak boleh dijual. Kedua, harta wakaf tidak boleh diberikan (dihibahkan) kepada orang lain. Dan ketiga, harta wakaf tidak boleh diwarisi. Dalam kaitannya wakaf dengan kesejahteraan ummat dan memajukan harta wakaf agar terhadap pencapaian keinginan pewakaf (waqif), ketiga prinsip ini harus diperhatikan agar nazhir wakaf yaitu, tidak melanggar aturan wakaf.
Makanya, nazhir dibenarkan untuk mengambil upah untuk pengurusan ataupun pengelolaan harta-harta wakaf pada taraf yang sesuai serta dibenarkan dan tidak sampai pada tahap seolah-olah harta itu milik nazhir.
Kemudian, demikian juga orang yang berhak menerima ataupun penerima wakaf (Mawquf ‘Alayh/Alayhim) dalam hal ini boleh ditentukan oleh waqif, baik menentukan penerima wakaf yang khusus misalnya seseorang maupun lebih dari pada seorang. Hal ini seandainya pemberi wakaf (waqif) menginginkan penerima wakaf adalah masyarakat umum, maka pemberi wakaf (waqif) tidak perlu menetapkan penerima khusus, contohnya mewakafkan kepada kelompok atau organisasi tertentu, ataupun kelompok fakir miskin atau ummat Islam. Harta yang diwakafkan (Mawquf) haruslah dalam bentuk benda ataupun barang tertentu seperti mewakafkan sebuah rumah, tanah dan lainnya.
Dalam masalah ini, harta yang hendak diwakafkan hendaklah merupakan milik pemberi wakaf (waqif) serta dapat memberikan manfaat serta faedah dan tidak boleh dipindahkan hak kepemilikan. Agar wakaf sebagai shadaqah jariah dapat memberikan pahala terus-menerus kepada pemberi wakaf, ulama mensyaratkan harta yang hendak diwakafkan dapat dipergunakan sepanjang masa atau waktu, penggunaan harta wakaf sesuai dengan aturan syara’ dan tidak digunakan untuk kemaksiatan. Kemudian dari itu, juga sangat prinsipil dalam mewakafkan harta wakaf adalah adanya ikrar wakaf, meskipun hal ini kelihatan sangat sederhana dalam pelaksanaannya.
Sehingga jelas harta yang diperuntukkan oleh para pe-waqif dalam pelaksanaan serta pemanfaatan harta yang diwakafkan serta disedekahkan dijalan Allah tersebut benar-benar memiliki nilai tersendiri dan berarti juga tidak mudah berubah serta bertukar dikemudian hari atau masa akan datang. Ikrar yang digunakan dalam perwakafan (sighah) adalah ungkapan yang perlu dipahami ataupun yang menunjukkan tujuan wakaf, baik wakaf umum maupun wakaf khusus. Maka, ikrar akad untuk wakaf terbagi kepada dua yaitu: Pertama, ikrar Sorih; yakni ikrar yang jelas memberikan maksud yang tertentu saja seperti; “Saya mewakafkan harta saya untuk orang-orang fakir.” Kedua, ikrar Kinayah; yakni ikrar yang memberikan banyak maksud seperti; “hartaku adalah disedekahkan kepada fakir miskin”.
Dengan merujuk pemikiran tersebut diatas, maka ditengah jantung Kota Banda Aceh ada tanah seluas sekitar 89,802 m2, berdasarkan catatan sejarah resmi adalah milik warisan Sultan Iskandar Muda yang diwakafkan kepada Masjid Raya Baiturrahman untuk kepentingan risalah Islam dan syi’ar Islam. Sehingga Blang Padang sebagai tanah wakaf yang sangat melekat dengan simbol ke-Islaman semestinya tidak mudah dialih fungsikan.
Blang Padang, yang kini berfungsi sebagai lapangan umum di pusat Banda Aceh, sesungguhnya memiliki akar sejarah. Ia bukan ruang kosong. Menurut catatan historis dan laporan resmi, kawasan itu dulunya adalah persawahan rakyat yang dibeli oleh Sultan Iskandar Muda, lalu diwakafkan untuk mendukung operasional Masjid Raya Baiturrahman, masjid utama dan simbol Islam di Aceh Darussalam.
Bahkan berdasarkan laporan BPK RI No. 22.A/LHP/XVII.BAC/05/2024 turut memperkuat klaim tersebut; tanah itu diwakafkan untuk kepentingan ibadah, termasuk pemeliharaan bangunan dan insentif bagi imam serta bilal. Juga didukung oleh dokumen Peta Blad 1906 dan Peta Koetaradja 1915 menunjukkan bahwa, tanah tersebut merupakan aloen-aloen Kesultanan Aceh, bukan milik penjajah Belanda dan juga bukan milik negara.
Demikian juga laporan dari BPK-RI tahun 2024 bahwa, Blang Padang tidak pernah menjadi aset kolonial, ini merupakan tanah wakaf, yang tujuannya untuk menopang kehidupan rakyat dan kegiatan Masjid Raya Baiturrahman.
Dengan demikian, diperlukan kesadaran yang sebenarnya dan sepenuhnya, tidak mudah mengalihfungsikan serta mengalihkan atau menguasai secara sewenang-wenang kepemilikan tanah wakaf, dengan alasan yang sama sekali tidak logis dan tidak sesuai dengan syari’at Islam. Bahkan jika digunakan serta dikuasai tidak sesuai dengan ikrar wakaf dari waqif, ini jelas-jelas berdosa serta melanggarkan syari’at Islam, ketentuan serta aturan wakaf yang sebenarnya. Disamping itu melanggar hukum Islam yang berhubungan dengan wakaf. Sehingga instansi yang menguasai harta wakaf tanah Blang Padang berdosa dengan alasan tanah milik negara, karena selama ini berdasarkan catatan sejarah Tanah Blang Padang (Umong Meusara) lebih banyak digunakan untuk kepentingan syi’ar Islam (seperti shalat ied/Idul Fitri dan Idul Adha serta keperluan lainnya dan keperluan Masjid Raya Baiturrahman).
Juga sangat prinsipil untuk syari’at Islam tentang harta wakaf tidak dikuasai oleh orang/kelompok tertentu dengan berdalih tanah milik negara tidak sesuai dengan ikrar wakaf, karena Blang Padang bukan tanah milik negara.
————
Ditulis oleh Dr. Taufiq A Rahim
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik