Kerikil dalam Sepatu Damai Aceh

banner 120x600

PERSOALAN damai Aceh kembali terusik, setelah mendagri Tito Karnavian mengeluarkan Kepmendagri No. 300.2.2-2138/2025 yang terbit pada 25 April 2025, berisi tentang kepemilikan Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, adalah masuk dalam wilayah provinsi Sumatera Utara. Keputusan tersebut bagi rakyat Aceh bak petir disiang bolong dan dipandang pemerintah pusat, tidak memahami suasana kebatinan rakyat Aceh, menyangkut soal territorial Aceh yang diyakini oleh rakyat aceh sebagai tanah Indatu.

Reaksi rakyat Aceh atas keputusan Mendagri, tidak semata-mata merupakan persoalan administrasi batas wilayah provinsi atau soal rebutan kekayaan alam yang ada di 4 pulau tersebut, tetapi telah menggugah memori kolektif masa lalu Aceh, karena kerapkali mendapat perlakuan tidak adil oleh pihak-pihak yang mengklaim memiliki hak atas wilayah Aceh. Dalam perspektif sejarah, Kerajaan Aceh Darussalam mengalami masa kejayaan di era kepemimpinan Sultan Iskandar Muda dan memiliki hubungan yang luas dengan kerajaan-kerajaan disekitarnya hingga ke eropa. Kerajaan Aceh Darussalam mengklaim sebagai wilayah berdaulat yang diakui oleh kerajaan besar di wilayah melayu hingga eropa.

Go Atjeh Go Atjeh Go Atjeh

Perbedaan cara pandang antara Pemerintah Pusat dengan Aceh dalam melihat latar belakang konflik Aceh, kerap menjadi pemicu kerawanan terhadap kesepakatan damai Aceh yang ditanda tangani di Helsinki 15 Agustus 2005. Terlebih lagi persoalan damai Aceh difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) yang didirikan oleh Martti Ahtisaari mantan presiden Finlandia, masih menyisakan benih perlawanan separatism di luar negeri. Mengingat tetap eksisnya organisasi perlawanan kemerdekaan Aceh dengan nama Atjeh Sumatera National Liberation Front (ASNLF), dipimpin oleh ketua Presidium ASNLF Ariffadhillah berkedudukan di Jerman. Dalam sidang Presidium UNPO ke 17 yang berlangsung di Munich, Jerman 27 – 29 Juni 2014, dengan suara mayoritas seluruh anggota Presidum Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO) menerima permohonan Acheh Sumatra National Liberation Front (ASNLF) untuk kembali menjadi anggota tetap. Status anggota tetap ASNLF dalam UNPO, ditandatangani oleh Sekretaris Jendral UNPO Marino Busdachin .

Terkait melihat latar belakang konflik Aceh, kiranya pemerintah pusat perlu memahami sisi pandang sejarah Aceh yang diklaim oleh tokoh sentral perlawanan Aceh Hasan Tiro. Mungkin hanya sedikit orang yang mengetahui tentang landasan ideology Hasan Tiro, dalam memperjuangkan kemerdekaan Aceh, dikenal dengan nama “successor states” (negara sambungan). Oleh sebab itu Hasan Tiro, selalu mempedomani perjuangannya memerangi Indonesia, adalah bukan semata-mata sebagai perlawanan separatime atau sebagai perjuangan untuk memisahkan diri dari republik Indonesia, tetapi perjuangan untuk menentukan nasib sendiri sebagai negara Aceh berdaulat.

Hal ikhwal tuntunan kedaulatan Aceh, berawal pada tanggal 25 Desember 1873, Belanda dibawah pimpinan Jenderal Van Swieten melakukan serangan kedua terhadap Aceh, kemudian belanda mengklaim telah menganeksasi Aceh dan memasukannya ke dalam wilayah Hindia Belanda alias Indonesia. Hal inilah menurut Hasan Tiro dituding, telah melanggar hukum internasional dan hukum dekolonisasi PBB, sebagaimana tertuang dalam Keputusan PBB 1514-XV:
a) Kedaulatan atas wilayah-wilayah jajahan ada dalam tangan penduduk wilayah itu sendiri, bukan dalam tangan penjajah atau pemerintahan asing.
b) Kedaulatan atas setiap tanah jajahan tidak boleh diserahkan oleh penjajah kepada penguasa yang lain.
c) Semua kekuasaan wajib dikembalikan oleh penjajah kepada bangsa asli.

Terkait dengan Successor State sebagai landasan ideology perjuangan Hasan Tiro menjadi jelas, bahwa gerakan perlawanan Aceh merdeka, menuntut dikembalikannya wilayah Aceh yang berdaulat, sebelum Indonesia menjadi sebagai negara berdaulat, melalui mekanisme negara sambungan yang sudah dipersiapkan oleh Hasan Tiro dalam bentuk monarki yang dipimpin oleh kepala negara dengan nama Wali Nanggroe. Mencermati persoalan konflik Aceh, sesungguhnya dapat diibaratkan telur diujung tanduk, karena memiliki potensi kerawanan yang amat tinggi. Oleh sebab itu, perlu mendapat apresiasi yang tinggi kepada Muzakir Manaf dan elite GAM yang dengan jiwa besar menerima skema perdamaian Aceh dalam koridor NKRI. Lebih dari pada itu, pemerintah pusat dipandang perlu mempertimbangkan, untuk menganugrahkan bintang jasa atau predikat pahlawan nasional atas jasa-jasa Muzakir Manaf, dalam mempertahankan keutuhan kedaulatan Indonesia.[]

===============

Penulis : Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *