Capai 12.416 korban Kekerasan Perempuan sepanjang 2024 di RI, Berapa Jumlah Korban di Aceh?

banner 120x600

MAKASSAR – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menyebut sebanyak 12.416 perempuan tercatat sebagai korban kekerasan seksual ataupun fisik sepanjang 2024.

Arifah Fauzi di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu, mengatakan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) KPPPA ini menunjukkan bagaimana perempuan sangat rentan mengalami kekerasan, baik di lingkungan rumah tangga atau ruang publik.

Go Atjeh Go Atjeh Go Atjeh

“Data ini sesungguhnya belum menunjukkan angka sebenarnya karena masih menjadi fenomena gunung es. Sebab masih banyak yang belum berani melaporkan,” ujarnya saat membawakan kuliah umum di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar dikutip Antara Sabtu (24/05/2025)

Ia menjelaskan, berdasarkan data yang masuk di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada 2024 tersebut juga diketahui jika perempuan di Indonesia usia antara 15 hingga 64 tahun pernah menjadi korban kekerasan terbesar.

Bahkan disebutkan bahwa satu dari empat perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan baik secara fisik ataupun seksual.

Dalam rangka menekan semakin tingginya angka kekerasan bagi perempuan dan anak, KPPPA telah menyiapkan berbagai program besar diantaranya bernama Ruang Bersama Indonesia (RBI) yang berbasis desa.

Program RBI disebut sebagai wujud nyata pendekatan pentahelix, yang menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, media, dan masyarakat.

Selain RBI, Arifah memaparkan dua program unggulan lainnya dari Kementerian PPPA, yaitu perluasan layanan Call Center SAPA 129 untuk pengaduan kekerasan, serta penguatan satu data gender dan anak berbasis desa yang dinilai penting untuk menghasilkan kebijakan yang tepat sasaran.

Jumlah Angka Kekaran perempuan di Aceh

Kepala DP3A Aceh, Meutia Juliana, saat menjadi narasumber dalam perbincangan bersama RRI Banda Aceh terkait dengan kekerasan perempuan dan anak di Aceh, Rabu (21/5/2025). | Foto: RRI

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh mencatat peningkatan signifikan dalam jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah tersebut dalam beberapa tahun terakhir. Jika dilihat dalam kurun waktu sejak tahun 2023 sampai dengan 2025 jumlahnya mencapai 1700 kasus. Data ini diungkap oleh Kepala DP3A Aceh, Meutia Juliana, dikutip RRI Banda Aceh, Rabu (21/5/2025).

Menurut Meutia, pada tahun 2023 tercatat sebanyak 198 kasus kekerasan. Namun, jumlah itu melonjak tajam di tahun 2024 menjadi 1.227 kasus. Sementara untuk tahun 2025, hingga Maret saja, DP3A telah mencatat 275 kasus.

“Ini sangat miris. Dalam tiga bulan awal saja, kita sudah temukan 275 kasus kekerasan. Ini menunjukkan tren yang terus meningkat,” ujarnya.

Meski demikian, Meutia menilai peningkatan angka pelaporan juga mengandung sisi positif. Masyarakat mulai lebih sadar dan berani melapor, baik korban sendiri maupun pihak lain yang peduli.

“Dulu banyak yang bungkam, sekarang masyarakat mulai berani melapor. Bahkan kami temukan kasus di mana masyarakat menolak ‘disuruh diam’ oleh perangkat desa dan tetap membawa kasus ke kami,” ungkap Meutia.

Namun, kata Dia,  banyak korban terutama di daerah terpencil, tidak menyadari bahwa mereka mengalami kekerasan. Budaya diam, normalisasi kekerasan, dan ketidaktahuan menjadi penghalang utama dalam upaya perlindungan korban.

“Kami temukan istri yang dipukul suami menganggap itu hal biasa, bahkan mengira itu pahala. Ada pula suami yang baru sadar tindakannya termasuk KDRT setelah ikut sosialisasi,” ujar Meutia.

Ia menyebut kondisi ini sebagai fenomena gunung es, di mana angka yang tercatat hanyalah bagian kecil dari jumlah kasus yang sebenarnya terjadi di masyarakat.

Lebih jauh, Meutia mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan sekitar. Ia menyoroti sikap acuh masyarakat yang kerap mengabaikan tanda-tanda kekerasan di sekitar mereka.

“Ketika ada suara jeritan atau bentakan keras, orang cenderung tak peduli. Padahal bisa jadi itu sudah terjadi kekerasan,” katanya.

Pihaknya kata Meutia, terus menggencarkan edukasi dan sosialisasi ke berbagai lapisan masyarakat agar mereka lebih sadar, berani melapor, dan memahami bahwa kekerasan, dalam bentuk apa pun, bukanlah hal yang wajar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *