LAMPUNG TENGAH – Pemerintah dan aparat penegak hukum diminta untuk tidak hanya menjadikan razia premanisme sebagai tontonan sesaat. Hal ini ditegaskan oleh aktivis sosial dan pemerhati kebijakan publik, Rahmad, yang memberikan komentar tajam usai rapat pembentukan Satuan Tugas Penanganan Premanisme dan Ormas Bermasalah di Lampung Tengah, Kamis (15/5/2025).
Menurut Rahmad, pendekatan razia dan penindakan belaka tidak akan menyelesaikan akar permasalahan. Ia menilai, negara selama ini seolah hanya “pura-pura memberantas” premanisme karena lebih sering menyasar pelaku di lapangan ketimbang aktor intelektual di baliknya.
“Premanisme tak akan pernah benar-benar hilang jika negara hanya sibuk merazia tukang parkir liar, sementara aktor besar di belakangnya tetap nyaman di balik meja kekuasaan. Apa artinya razia kalau besok mereka kembali lagi karena tidak ada alternatif hidup yang ditawarkan?” ujar Rahmad.
Rahmad juga mengkritisi wacana ekstrem yang mengusulkan hukuman tembak mati atau pendekatan ala “Petrus” (penembakan misterius) sebagai solusi. Baginya, hal tersebut justru menunjukkan kemunduran moral dan hukum dalam negara demokratis.
“Ada yang bicara tembak mati, Petrus—apa kita mau kembali ke masa gelap, ketika hukum diatur oleh peluru dan ketakutan? Negara hukum tak boleh dijalankan dengan cara-cara kriminal, apalagi oleh aparat yang semestinya menjunjung tinggi keadilan,” tegasnya.
Rahmad menilai bahwa lunturya nilai budaya dan maraknya ketidakadilan struktural menjadi lahan subur tumbuhnya premanisme. Ia menekankan pentingnya pendekatan sistemik dan berkelanjutan, bukan hanya penindakan simbolik.
“Preman tumbuh di tanah yang sama dengan korupsi: kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Bangun ekonomi rakyat, berikan pendidikan yang membebaskan, dan tegakkan hukum tanpa pandang bulu—itu baru namanya perang melawan premanisme. Bukan sandiwara penindakan tiap ada sorotan media,” pungkasnya.
Sebelumnya, Kejaksaan Negeri Lampung Tengah dalam rapat tersebut juga menyampaikan pandangan senada bahwa penanganan premanisme harus menyentuh akar sosial, seperti kemiskinan dan rendahnya pendidikan. Mereka mengusulkan pendekatan berbasis kearifan lokal dengan melibatkan tokoh adat, tokoh agama, dan komunitas masyarakat.[]