Kondisi kehidupan rakyat Aceh pasca Perjanjian Damai Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005, baik-baik saja. Tidak ada hal yang aneh serta gejolak yang mengganggu kehidupan rakyat Aceh yang mangkhawatirk dan atau mengancam kondisi politik, hukum dan keamanan.
Demikian juga, rakyat Aceh sangat paham bahwa, salah satu isi atau poin butir MoU Helsinki 2005 adalah, jumlah personil tentara (Tentara Nasional Indonesia/TNI) sebanyak 14.700 orang.
Sesungguhnya ini landasan ideal, hukum dan politik yang sama-sama kita patuhi. Apalagi sejak berlakunya MoU, turunannya pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), secara politik, hukum dan keamanan rakyat Aceh sangat patuh dan mahfum, ini harus dipatuhi bersama. Meskipun sejak ada sistem politik yang khusus di Aceh, yang “katanya” merujuk kepada “lex specialist” semu dan tidak jelas secara aturan hukum, politik, ekonomi dan lainnya, ini hanya menjadi catatan sejarah dan emosional “urut dada” bagi rakyat Aceh secara realitas aturan hukum, politik, ekonomi dan lain-lain.
Walaupun ada yang namanya partai politik lokal juga, tidak lebih untuk kepentingan politik dan ekonomi para elite Aceh, partai politik dan aktivis politik tertentu serta oligarki. Tetapi rakyat Aceh diam seribu bahasa.
Akan tetapi, tiba-tiba mengapa adanya upaya penambahan 4 Batalion TNI di Aceh, dengan alasan dan argumentasi agar keamanan Aceh lebih terjamin dalam sistem dan strategi pertahanan nasional, juga lucunya argumentasi semakin luas dan terbuka lapangan kerja untuk putra-putri Aceh di dalam TNI. Apakah tidak ada pertimbangan analisis yang lebih ekonomis dan jebijakan anggatan fiskal/moneter negara dari anggaran belanja publik untuk TNI?
Demikian juga, adanya agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Aceh lebih dan merata. Apakah berbagai alasan yang tidak rasional dan logis ini benar?. Apakah banyak yang tidak paham dengan benar dan sesungguhnya berbagai catatan sejarah Aceh sejak abad pertengahan, penjajahan bangsa-bangsa Eropah, Jepang dan lain sebagainya. Sehingga usaha untuk membuat, mendirikan, mentapkan tambahan 4 batalyon di Aceh dikaji dan tidak dipaksakan agar ada.
Ada kekhawatiran jika dipaksakan akan berlaku sesuatu hal, ata persoalan baru yang lebih besar dikemudian hari. Sebaiknya pengambil kebijakan dalam tubuh TNI dan juga Pimpinan TNI tidak memaksakan diri untuk mendirikan dan manambah 4 batalyon, dengan pemikiran yang sangat bijaksana, cerdas, merujuk aturan hukum dan Perjanjian Damai MoU Helsinki dan berbagai hal lainnya yang akan menjadikan persoalan baru nantinya.
Tetap teguh pada slogan yang selalu digaungkan yaitu, “Damai Itu Indah”.
———-
Oleh Dr.Taufiq A Rahim
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik