BANDA ACEH – Komite Peralihan Aceh (KPA) Luar Negeri menolak tegas rencana Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Niko Fahrizal,yang akan menerima pelaksana pembangunan empat Batalyon Teritorial Pembangunan (YTP) di Balee Sanggamara, Makodam IM, Jumat (25/4/2025).
Menurut KPA Luar Negeri, rencana tersebut tidak hanya inkonstitusional, tapi juga mengancam masa depan perdamaian, investasi, dan stabilitas Aceh pasca-konflik.
Keempat batalyon itu direncanakan berdiri di wilayah strategis, yaitu Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil—wilayah yang saat ini tengah dijajaki sebagai lokasi potensial untuk proyek-proyek investasi internasional.
“Kami menolak keras pembangunan ini. Di saat kami sedang berjuang meyakinkan investor untuk masuk ke Aceh, kalian justru memilih membangun pangkalan militer di wilayah yang sedang kami siapkan untuk pertumbuhan ekonomi rakyat,” tegas T. Emi Syamsyumi alias Abu Salam, Ketua KPA Luar Negeri, dalam pernyataan resminya, Rabu (30/4/2025).
Abu Salam menuding pembangunan YTP merupakan langkah mundur yang berpotensi mengingkari semangat perdamaian MoU Helsinki 2005 antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.
Ia menyebut, rencana itu berpotensi melanggar Point 1.4.2 MoU Helsinki yang menyebutkan bahwa “Jumlah pasukan non-organik dan organik TNI di Aceh harus dikurangi secara signifikan dan tidak boleh ditambah tanpa persetujuan Pemerintah Aceh.”
“Apa yang kalian targetkan hingga wilayah-wilayah strategis itu yang ingin kalian bangun? Emas kami? Minyak kami? Jangan rusak kesejahteraan rakyat Aceh dengan menghadirkan ketakutan di tengah upaya kami mengundang dunia untuk membangun Aceh,” ujar Abu Salam tajam.
KPA Luar Negeri menyoroti kehadiran PT Andalan Mitra Wahana—mitra resmi Kementerian Pertahanan—yang ditunjuk untuk membangun satuan YTP tersebut, sebagai langkah yang menyingkirkan prinsip partisipasi publik serta mengabaikan otoritas Pemerintah Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
“Setiap kebijakan strategis nasional di Aceh wajib melalui konsultasi dan persetujuan DPRA. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 8 dan Pasal 269 UUPA. Maka pembangunan YTP tanpa keterlibatan DPRA dan Pemerintah Aceh adalah cacat hukum dan cacat politik,” imbuh Abu Salam.
Sementara itu, Pangdam IM Mayjen TNI Niko Fahrizal dalam pernyataannya menyebut pembangunan batalyon tersebut sebagai langkah strategis dalam memperkuat pertahanan dan kedekatan TNI dengan masyarakat.
“Keberadaan satuan teritorial baru ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam mendukung stabilitas keamanan dan pembangunan daerah,” kata Niko di Makodam IM.
Namun bagi KPA Luar Negeri, narasi “keamanan” yang dibungkus pembangunan militer tidak lagi relevan dalam Aceh pasca-konflik.
“Rakyat Aceh butuh infrastruktur ekonomi, bukan infrastruktur militer. Keamanan dibangun lewat keadilan, bukan senapan,” pungkas Abu Salam.
Polemik pembangunan empat YTP di Aceh kini menjadi ujian serius terhadap komitmen negara dalam menjaga perdamaian Aceh yang sudah berlangsung hampir dua dekade.
Jika dialog dan prinsip-prinsip demokrasi diabaikan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya MoU Helsinki—tapi juga kepercayaan publik dan masa depan Aceh sendiri.[]
Sumber Linkanews