Taman Matoa, Kanwil Kemenag Aceh; Isyaratnya Simbol Persaudaraan Papua di ujung Timur dan Aceh di ujung Barat Indonesia

banner 120x600

BANDA ACEH — Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh Drs H Azhari MSi, Kabag TU Ahmad Yani SPdI dan jajaran, serta Plt Sekda Aceh HM Nasir SIP MPA dan mitra, menanam matoa secara simbolis, di halaman UPT Asrama Embarkasi Haji Aceh, Selasa, 22 April 2025.

Penanaman simbolis, dilakukan usai Plt Sekda, atas nama Gubernur Aceh H Muzakir Manaf, serta atas nama Menteri Agama (Menag) melantik Petugas Penyelenggara Ibadah Haji Embarkasi Haji Acehb(PPIH BTJ) 1446H/2025M, di Aula Jeddah. 

Go Atjeh Go Atjeh Go Atjeh

Sesi penanaman pohon secara nasional, juga dilakukan usai meal test (meninjau dan menjajaki menu makanan bagi jemaah Aceh selama dalam penerbangan), bersama mitra Garuda Indonesia. Ikut dampingi Kakanwil dan mitra, GM Garuda Indonesia Regional Aceh Nano Setiawan. 

Azhari sampaikan, bahwa Kementerian Agama menginisiasi gerakan Penanaman Sejuta Pohon Matoa dalam menyambut Hari Bumi, 22 April 2025. Gerakan ini bersama Menag difokuskan di Kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Cimanggis, Depok dan diikuti secara daring oleh ASN Kemenag dari seluruh provinsi. Saat yang sama kita juga sukseskan dengan pelantikan PPIH BTJ. 

Gerakan ini diinisiasi oleh Menag Prof Dr H Nasaruddin Umar MA. Proses penanaman sejuta pohon matoa akan digelar secara serentak. Target sejuta pohon sendiri akan dilakukan secara bertahap di sepanjang 2025.

Sebutnya, ini satu suluh dari delapan prioritas (Asta Protas) yang diluncurkan Menag Nasaruddin, yakni penguatan ekoteologi, yang menjadi pilihan strategis untuk menyelaraskan kehidupan manusia dengan alam.

Kakanwil sampaikan, bahwa tanaman matoa awal mula banyak tumbuh di tanah Papua.

“Dari kajian menunjukkan bahwanada kesamaan tanah Papua dengan tanah Aceh, bisa subur juga untuk penanaman pohon matoa,” jelas Kakanwil di depan peserta apel, para Kabid, dan para Pembimas. 

Menanam matoa di Aceh, isyaratnya, juga simbol persaudaraan Papua di ujung Timur dan Aceh di ujung barat Indonesia. 

Sebutnya, untuk sukseskan program nasional sesuai dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 244 Tahun 2025, dasar Program Prioritas Kementerian Agama, termasuk Gerakan Penanaman 1 Juta Pohon matoa yang diluncurkan pada 22 April 2025 ini, 

Untuk mengejawantah komitmen itu, Kemenag mencanangkan Gerakan Nasional Penanaman Satu Juta Pohon Matoa, yang puncaknya akan diperingati pada Hari Bumi, 22 April 2025, sebagai zikir semesta dari manusia kepada alam yang mulai renta.

Dalam Konferensi Pers Asta Protas 2025–2029, Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan bahwa agama harus hadir sebagai kekuatan moral dalam merawat bumi. Pemikiran ini sejalan dengan gagasan Seyyed Hossein Nasr, filsuf muslim terkemuka, yang menyebut alam sebagai theophanya, manifestasi kehadiran Tuhan, yang tak boleh disakiti. Dalam Islam, manusia ditunjuk sebagai khalifah, yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan, bukan mengeksploitasi alam semaunya.

Penanaman sejuta pohon matoa yang dicanangkan Kemenag, serta gerakan yang selama ini dijalankan para aktivis lingkungan menegaskan bahwa alam bukan sekadar tempat untuk memuaskan kebutuhan, melainkan sahabat sejiwa yang layak didengar, dijaga, dan dicintai tanpa syarat. Dalam relasi yang seimbang, alam tidak diperlakukan sebagai objek, melainkan sebagai mitra hidup yang tumbuh bersama manusia dalam irama kasih dan tanggung jawab. 

Pohon matoa (pometia pinnata) adalah tanaman asli Papua yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam ekosistem tropis Indonesia Timur. Tingginya bisa mencapai 18 meter, dengan tajuk yang rindang dan akar yang kuat. Secara ekologis, matoa memiliki kemampuan istimewa: ia dapat menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar, menghasilkan oksigen, mencegah erosi, dan memperbaiki kualitas tanah.

Matoa bukan hanya pohon, tapi simbol ketangguhan. Matoa dapat tumbuh hampir di seluruh wilayah Nusantara, dari tanah Aceh hingga Merauke. Kemampuannya bertahan dalam cuaca ekstrem menjadikannya metafora tentang harapan: bahwa kehidupan bisa bertunas bahkan di kondisi yang genting.

Di balik rimbun daunnya yang tenang dan ketangguhan ekologis, Matoa menyimpan denyut kehidupan yang lebih dari sekadar hijau. Ia bukan hanya penjaga harmoni alam, tetapi juga penjaga harapan manusia. Buahnya pun memiliki cita rasa yang tak lazim, seolah memadukan manisnya lengkeng dengan aroma menggoda durian, menyapa lidah dengan percaya diri. Ia membawa peluang, membuka jalan bagi tumbuhnya ekonomi lokal yang bersandar pada alam, bukan dengan perusakan. Sementara kayunya, kokoh namun ringan, siap diolah menjadi karya: dari konstruksi sederhana hingga kerajinan tangan yang menyimpan jejak budaya dan ketekunan.

Tak sekadar tegak di antara rerimbun hutan, Matoa adalah warisan hayati bangsa. Di tengah ekspansi industri yang terus menggusur batas-batas alam, melestarikan pohon endemik seperti matoa adalah tindakan menyulam kembali jalinan kearifan lokal yang nyaris pudar. Seperti diungkapkan Muhibuddin, Kasubdit Bina Kelembagaan dan Kerja Sama Zakat dan Wakaf Kemenag, “Menanam Matoa berarti merawat akar budaya dan ekologis kita sendiri.[]

Sumber aceh.kemenag.go.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *