BANDA ACEH – . Di setiap lorong sempit yang dilaluinya, Marlina Muzakir kerap menyisakan jejak kepedulian. Istri Gubernur Aceh sekaligus Ketua TP PKK Aceh ini tak sekadar hadir dalam kunjungan kerja, tetapi juga menebarkan kebaikan kepada mereka yang acap terpinggirkan. Dari lorong rumah sakit hingga jalan lintas provinsi, ia membagi apa yang bisa ia berikan, bukan karena seremoni, tetapi karena panggilan hati.
Bulan Ramadan seolah menjadi ruang yang memperjelas kebiasaannya itu. Hampir setiap hari, Marlina turun langsung ke pasar-pasar rakyat, membeli takjil bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mereka yang datang sekadar melihat-lihat atau menimbang harga. Sementara di waktu sahur, ia diam-diam menyusuri lorong-lorong RSUDZA, membagikan nasi kepada keluarga pasien yang terpaksa bermalam di bangku-bangku rumah sakit. Para tukang becak dan pedagang kios di Banda Aceh pun kerap menerima sentuhan kecil dari tangan Marlina—seporsi makanan di kala perut mereka masih kosong.
Hari ini, Selasa (18/3), di tengah perjalanan kunjungan kerjanya ke Aceh Timur, kebiasaannya itu kembali terlihat. Mobil rombongannya tengah melaju di sepanjang jalan lintas Kabupaten Pidie Jaya ketika tiba-tiba ia meminta pengemudi untuk menepi. Perhatiannya tertuju pada sosok-sosok renta yang tampak kepayahan di bawah terik matahari—lelaki tua dengan becak tuanya, seorang ibu yang berjalan tergesa di bahu jalan, dan beberapa orang lain yang terlihat seperti berjuang sekadar untuk melanjutkan langkah.
Tanpa ragu, Marlina turun dari mobil, membawa paket sederhana berisi kebutuhan dapur: dua kilogram minyak goreng, dua kilogram gula, satu kotak kurma, dan tiga botol sirup.
“Pue haba, Bapak. Nyoe na sirup untuk buka puasa bacut,” ucapnya lembut saat menyerahkan bungkusan kepada Tgk Amir, seorang lelaki tua dengan keterbatasan fisik yang tampak terkejut dengan pemberian mendadak itu.
Tgk Amir menerimanya dengan senyum kecil, matanya berbinar meski bibirnya sedikit terbata. Baginya, paket sederhana itu bukan sekadar bahan makanan, tetapi juga tanda bahwa di antara lalu lalang kesibukan dunia, masih ada yang peduli.
Di bawah terik matahari siang, Marlina terus bergerak, menyetop siapa saja yang terlihat membutuhkan. Tak ada sorotan kamera besar, tak ada barisan pejabat yang menyambut. Hanya dirinya, beberapa ajudan, dan tangan-tangan yang dengan tulus mengulurkan bantuan.
Bagi sebagian orang, sedekah mungkin adalah sesuatu yang perlu direncanakan dan diumumkan. Namun, bagi Marlina, itu adalah sesuatu yang datang secara spontan, mengalir begitu saja dari nalurinya sebagai seorang perempuan, seorang ibu, dan seseorang yang percaya bahwa kebaikan tak harus menunggu momen yang sempurna. [chliss]