Meski Diakatan Miskin, Provinsi Tetangga Sumut Nyumbang untuk Instansi Vertikal Rp 308 Miliar

banner 120x600

BANDA ACEH — Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Aceh tercatat sebagai provinsi termiskin nomor 1 di Sumatera dan nomor 5 secara nasional. Provinsi yang berjulukan serambi Mekah masih menghadapi tantangan besar dalam mengatasi tingkat kemiskinan yang tinggi di tengah masyarakatnya.

Meski demikian, Provinsi yang bertetangga dengan Sumatera Utara (Sumut) ini tetap mampu menyumbangkan dana hibah untuk instansi vertikal sebesar Rp 308,4 miliar. Jumlah tersebut merupakan akumulasi dana hibah yang diberikan selama delapan tahun, mulai dari 2017 hingga 2024.

Go Atjeh Go Atjeh Go Atjeh

Dari total dana hibah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), alokasi terbesar diterima oleh instansi kepolisian, yang mendapatkan porsi 37%. Porsi selanjutnya diperoleh Kejaksaan Tinggi dengan 27%, dan TNI dengan 26%.

Angka tersebut diungkapkan oleh dua lembaga civil society di Aceh, yakni MaTA dan LBH Banda Aceh, dalam sebuah konferensi pers bertajuk Telaah Kebijakan Anggaran Hibah dalam APBA, yang diselenggarakan pada Selasa (21/1/2025) di Banda Aceh.

Kedua lembaga ini menilai bahwa kebijakan pengalokasian dana hibah tersebut kurang tepat, mengingat kondisi Aceh yang masih terbelenggu kemiskinan, dan seharusnya lebih fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Kepala Program LBH Banda Aceh, Hafidh, pengalokasian dana hibah untuk instansi vertikal justeru membebani keuangan Pemerintah Aceh. “Masih banyak urusan wajib yang belum tercapai, makanya hibah untuk instansi Pusat sangat tidak patut dilakukan oleh Pemerintah Aceh,” ujarnya. 

Dikatakan, Aceh masih menghadapi begitu banyak “PR” yang belum terselsaikan mulai dari kemiskinan hingga rehabilitasi korban konflik yang telah direkomendasikan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Di saat tugas utama belum diselesaikan, kata dia, Pemerintah Aceh justeru sangat royal membiayai tugas yang bukan urusannya.

Malah yang dilakukan itu, sambungnya, justeru terkesan tidak begitu vital dan mendasar, seperti rehab/pembangunan kantor, fasilitas rumah dinas, fasilitas olahraga, belanja kendaraan dinas, pagar, kanopi, area parkir, taman, hingga jalan komplek perkantoran. 

Padahal, kata Hafidh, penggunaan APBA untuk hibah sudah diatur dalam Pasal 298 ayat (4) UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Di sana disebutkan, bahwa “Belanja hibah dan bantuan sosial dianggarkan dalam APBD sesuai dengan kemampuan keuangan daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.” 

Kedua lembaga ini khawatir pengalokasian hibah untuk instansi vertikal berpotensi menyalahi aturan karena tidak memenuhi berbagai prasyarat bahwa dana tersebut digunakan dengan tepat, adil, dan bermanfaat bagi masyarakat. Sangat disayangkan, tren belanja hibah itu justeru menunjukkan peningkatan yang signifikan pada tahun 2021 dan 2022 di saat berakhirnya masa kepemimpinan Gubernur Nova Iriansyah. 

Dikatakan, alokasi hibah terjadi penurunan pada tahun 2023. Namun, pada 2024 kembali meningkat. Hal ini bertepatan dengan berakhirnya masa jabatan DPRA.

MaTA dan LBH Banda Aceh mendesak Pemerintah Aceh, baik eksekutif maupun legislative harus berani menghentikan pengalokasian dana hibah untuk instansi vertikal.  “Masih banyak PR Pemerintah Aceh yang mendesak untuk diselesaikan,” tegas mereka.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *