Oleh. Juhaimi Bakri
‘Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihai untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran .”(QS al-Ashr : 1-3)
Buya Hamka dalam Tafsir Azhar, menerangkan pandangan Syeckh Muhammad Abduh dalam Tafsir Juzu’ Amma, bahwa sudah menjadi tradisi bangsa Arab ketika hari telah senja mereka duduk membicarakan persoalan kehidupan yang telah mereka lalui atau cerita-cerita tentang aktifitas sehari-hari. Pembicaraan mereka banyak yang melenceng, hingga berakhir pertengkaran, perkelahian bahkan kearah permusuhan. Sehingga ada yang menghakimi Waktu ‘Ashar (petang hari), dengan mengatakan Waktu ‘Ashar, adalah waktu yang celaka, banyak bahaya terjadi di di kala itu. Maka turunlah ayat ini memberi peringatan “Demi ‘Ashar”, perhatikanlah waktu ‘Ashar.
Bukan waktu ‘Ashar yang salah. Yang salah adalah manusia-manusia yang mempergunakan waktu itu dengan salah. Mempergunakannya hanya untuk bersenda gurau (istilah sekarang ngerumpi alias gosip-gosip) yang tidak berguna, seperti bermegah-megahan dengan banyaknya harta, memuji diri, menghina merendahkan orang lain. Tentu orang yang dihinakan tidak menerima, maka muncullah sengketa. Dasar inilah asabun nuzul surat Al Ashr, tentang masa atau waktu yang sangat berharga untuk meraih kesuksesan dalam menata hidup dan kehidupan.
Semua orang ingin sukses, itu sudah pasti, tidak ada satu orang pun di jagad alam ini yang ingin hidupnya gagal. Untuk menjelaskan makna sebuah kesuksesan, masing-masing orang akan mempunyai sudut pandang tersendiri, pengalaman dan arah hidupnya sering mempengaruhi itu. Ada yang melihat bahwa sukses hidup, ketika seseorang berhasil meraih apa pun yang dia inginkan; ada pula yang merasa bahwa sukses adalah ketika kita mampu menjadi orang yang bernilai walau tak memiliki harta. Ketika pundi-pundi uang sudahlah banyak rekening dan deposito telah dikumpulkan, itu juga dianggap suskes. Tidak ada yang salah tentang pandangan orang tentang kesuksesan yang beragam, selama pandangan tersebut tertuju untuk meraih keridhaan Allah Swt.
Al-Quran mempunyai indikator tersendiri mengenai tingkat kesuksesan seseorang dalam menjalani hidup. Pada prinsipnya menurut Al-Quran kesuksesan hidup tidak terletak pada banyaknya properti, deposito uang, ladang bisnis, kekuasaan, atau popularitas. Indikator sukses seseorang yang pertama menurut al-Qur’an adalah iman, lalu di ikuti rangkaian ibadah yang sudah ditetapkan. Sebab, pernyataan ketauhidan La ila haillallah Muhammad Rasulullah adalah kunci keselamatan seorang hamba. Tanpa keduanya, orang hanya akan mendapat sukses di dunia. Padahal, hidup yang lebih baik dan abadi adalah akhirat, “wal akhiratu khairun wa abqa”.
Untuk membuktikan bahwa iman masih menyelimuti dada seseorang harus mewujudkan kebajikan-kebajikan. Kebajikan adalah akhlak, yang merupakan buah dan tujuan beragama. Tanpa akhlak yang baik, iman seseorang akan binasa, bahkan gagal. “Maka berlomba-lombalah kalian (dalam berbuat) kebajikan,”demikian pesan surat al-Baqarah :148, disebutkan.
Untuk memastikan kebajikan yang dilakukan itu selalu dalam kondisi terbaik, perlu bantuan dan motivasi dari orang lain, maka, sangat rasional kala ada penegasan bahwa indikator ketiga adalah saling menganjurkan untuk menerima kebenaran, dari siapa saja. Anjuran menyampaikan kebenaran atau lazim di istilahkan dengan dakwah bukan hanya menjadi monopoli kalangan tertentu semisal Teungku, Ustaz atau para guru. Setiap manusia muslim mempunyai tanggung jawab dan kewajiban yang sama untuk saling mengingatkan, sekaligus untuk menerima peringatan dari siapa pun. Kesadaran ini harus dibangun dalam tatananan masyarakat kita sebagai refleksi sikap “masyarakat madani”, agar persepsi tentang juru dakwah lebih maju dan luas menjadi sebuah profesi bagi sengenap orang, sehingga orang yang tak memiliki lisensi (cap) hanya Tukang Ceramah yang boleh memberikan masukan. Pada waktu yang sama, sebagian orang yang sudah telanjur menjadi Tukang Ceramah merasa tak sudi lagi menerima nasehat dari yang lain.
Lalu, ketika kita sudah menempuh jalur tersebut dengan kesadaran telah mewaqafkan hidup kita di jalan Allah, maka yang dibutuhkan adalah istiqamah, Sikap ini penting jika kita yakin berada di posisi yang benar, dan membutuhkan keteguhan dan kreatifitas untuk terus berada di area tersebut. Setiap saat, indera kita menerima bisikan dan mata mendapat godaan, sehingga, orang membutuhkan vitamin semangat dan suplemen untuk selalu dapat terus bertahan pada lajur kebenaran.
Syaikh Muhammad At Tamimi dalam Kitab Tsalatsatul Ushul, menukil perkataan Imam Syafi’i, “Seandainya Allah menjadikan surat al-ashr ini sebagai hujjah pada hamba-Nya, maka itu sudah mencukupi mereka.” Inilah kiat “Hidup Sukses” yang dipesankan dalam al-Quran, yaitu hanya orang-orang yang menggenggam iman kehidupan yang sempurna dan istiqamah, di dunia dan akhirat. Senang dengan aktifitas yang bermanfaat bagi agama dan senantiasa di jalur kebenaran dan tegar dalam kesabaran. Dalam Islam, Hidup Sukses adalah “nilai”, bukan materi. Wallahua’lam.————————— ——————