OPERASI tangkap tangan KPK terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan Emmanuel Ebenezer alias Noel ramai jadi tontonan. Publik gaduh, bukan soal korupsinya, tapi soal siapa yang ditangkap. Di negeri ini, hukum memang punya bakat ganda, adakalanya bisa jadi kitab suci, bisa juga jadi pedang mainan anak kecil yang tajam ke musuh, tumpul ke kawan.
Hukum yang seharusnya menegakkan keadilan kini lebih mirip pisau dapur, dipakai memotong bawang untuk bikin orang menangis, bukan memotong akar busuk korupsi. Para aparat hukum tampil gagah ketika menangkap lawan politik yang sedang kehilangan pelindung, tapi mendadak ciut ketika berhadapan dengan orang-orang dekat presiden. Berani sama lemah, takut sama kuat.
Kasus Noel hanyalah episode terbaru sinetron hukum kita. Ketika dia mulai keras terhadap Jokowi, borgol langsung diklik. Tapi bila nama-nama seperti Silfester, Budi Arie, Bahlil, atau Bobby disebut, aparat hukum mendadak seperti ayam kehilangan taji. Mengais di tanah, tapi tak pernah berkokok.
Beginilah bangsa pengecut dibentuk. Kita bukan lagi bangsa yang menjunjung keberanian, melainkan bangsa yang terbiasa menjilat ke atas dan menginjak ke bawah. Penjara pun bukan rumah para penjahat sejati, melainkan gudang untuk musuh politik kelas receh. Koruptor besar nyaman di kursi kekuasaan, sembari tertawa melihat rakyat sibuk menonton drama OTT.
Akibatnya, harga diri hukum kita jatuh ke titik nol. Pengadilan berubah jadi pasar gelap, dimana ada etalase hukum pidana, ada diskon pasal perdata, bahkan ada paket “bebas demi hukum” bila uangnya cukup. Dunia menatap kita dengan jijik, ketika republik besar dengan aparat hukum yang mentalnya kecil.
Kini bola ada di kaki Presiden Prabowo. Setahun ia berkuasa, dengan warisan sepuluh tahun Jokowi yang penuh lubang. Prabowo bisa memilih, ikut arisan politik balas jasa, atau menegakkan hukum sebagai pilar negara.
Sebab rakyat tidak memilih Prabowo untuk memberi panggung pada Jokowi dan kroninya. Mereka memilih karena percaya Prabowo mampu menghentikan sandiwara. Kalau salah langkah, rakyat yang frustrasi bisa meledak kapan saja.
Bangsa ini sudah terlalu lama hidup di teater hukum. Dan bagi Prabowo, tak ada lagi ruang untuk ragu. Pepatah lama berkata “It’s now or never.” Kalau hukum masih dipakai sebagai mainan, jangan salahkan bila panggung negeri ini berubah jadi arena tawuran massal.[]
Penulis Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
===≠======
Artikel ini merupakan opini penulis, semua isi diluar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggung jawab penulis