Operasi Garis Dalam: Ancaman Senyap bagi Wibawa Presiden

banner 120x600

DALAM dunia intelijen tempur, dikenal istilah operasi garis dalam. Sebuah taktik penghancuran lawan dari dalam, dengan cara menyusupkan orang-orang ke jantung kekuasaan, membangun opini negatif, hingga menggiring persepsi publik bahwa kelemahan lawan muncul secara alami. Padahal sesungguhnya, itu adalah hasil rekayasa yang terstruktur.

Fenomena politik nasional hari ini memperlihatkan gejala serupa. Sorotan publik seolah diarahkan pada kinerja Presiden Prabowo yang tengah menghadapi tantangan hukum, ekonomi, dan politik. Namun jika ditelisik lebih dalam, kerawanan stabilitas nasional justru bukan lahir dari kebijakan presiden, melainkan ulah politik cawe-cawe Jokowi dan kroninya yang masih memanfaatkan instrumen negara untuk kepentingan pribadi.

Go Atjeh Go Atjeh Go Atjeh

Indikasi jelas terlihat. Pernyataan-pernyataan kontroversial para menteri “warisan Jokowi” kerap menimbulkan keresahan publik. Mulai dari kebijakan tanah oleh ATR/BPN, wacana pajak yang memicu amarah rakyat, kebijakan elpiji 3 kg yang mencekik, hingga manuver Menteri Desa dan Menpan-RB yang justru memperburuk situasi sosial. Belum lagi gaya komunikasi pejabat yang arogan, praktik hukum “pesanan”, dan moral aparat yang lebih sibuk mengejar remah hasil korupsi ketimbang menegakkan keadilan.

Dari perspektif intelijen, ini bukan sekadar kebetulan. Pola ini sangat rapi, seolah bagian dari grand design operasi garis dalam. Tujuannya adalah melemahkan citra dan wibawa Presiden Prabowo untuk membuka jalan menuju 2029. Caranya yaitu Pertama, menempatkan orang-orang tertentu di posisi strategis kabinet. Kedua, memproduksi keresahan publik lewat kebijakan kontroversial. Ketiga, mengkriminalisasi orang-orang dekat presiden melalui black campaign. Keempat, mendorong instabilitas ekonomi dan memicu kerusuhan sosial dengan memanfaatkan relawan bayangan.

Namun Prabowo bukan tanpa perlawanan. Sejumlah langkah kontra-intelijen mulai terlihat seperti pembatalan izin PSN, penundaan proyek IKN, hingga pembatalan kebijakan menteri yang menimbulkan keresahan. Langkah ini menandakan Prabowo sudah membaca skenario besar tersebut.

Yang kini ditunggu publik adalah langkah pamungkas berupa “pembersihan kerikil dalam sepatu kekuasaan”. Tanpa operasi bersih-bersih di lingkaran dalam, wibawa presiden akan terus digerogoti. Politik balas budi tidak boleh dimaknai sebagai loyalitas pada Jokowi, melainkan sebagai tanggung jawab moral untuk mengembalikan negara pada jalur kepentingan rakyat.

Sejarah akan mencatat, apakah Prabowo memilih tunduk pada operasi garis dalam, atau bangkit melakukan pembersihan besar demi melahirkan kepemimpinan yang berdaulat dan berwibawa.[]

Penulis: Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen)

=========={

Artikel ini merupakan opini, seluruh isi d luar tanggungjawab Redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *