DUA dekade pemerintahan Jokowi meninggalkan jejak kusut berupa ketimpangan ekonomi, hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas, hingga bangsa yang terancam terbelah. Publik menaruh harapan baru kepada Presiden Prabowo, yang dianggap bisa membawa arah berbeda, lebih berpihak pada rakyat yang lama terpinggirkan. Namun kenyataannya, jalan yang ditempuh Prabowo tidaklah mudah.
Kemenangannya di Pilpres 2024 pun tak sepenuhnya lepas dari “cawe-cawe” Jokowi. Menteri titipan, instrumen hukum untuk menekan lawan politik, hingga jejaring loyalis yang masih bercokol di lingkar kekuasaan membuat Prabowo tampak terbelenggu. Fenomena ini bukan hanya beban kekuasaan, tapi juga mempertaruhkan marwahnya sebagai kepala negara.
Di mata publik, Prabowo terlihat pasif, membiarkan manuver Jokowi menggerus etika politik. Namun belakangan, tabir itu mulai terbuka. Langkah-langkah progresif mulai ia tunjukkan bahwa pembatalan PSN Rempang dan PIK 2, penghentian tambang ilegal, pembongkaran pagar laut Tangerang, hingga penertiban kasus besar di Pertamina dan BUMN. Bahkan, keputusan berani di ranah politik luar negeri pun diambil untuk mengangkat citra Indonesia.
Meski begitu, Prabowo tetaplah sosok pemimpin yang kesepian. Kabinetnya sendiri tak lepas dari rapor merah para menteri dianggap gagal memberi performa yang layak. Seolah Prabowo sedang mencuci piring sendiri setelah pesta politik panjang kubu Jokowi.
Kini, tantangan ke depan semakin kompleks. Loyalitas penuh dari pembantu presiden bukan lagi sekadar kebutuhan, tapi harga mati. Publik pun menuntut Prabowo untuk segera menertibkan anasir-anasir Jokowi, terutama di institusi hukum yang dinilai paling parah terinfeksi “virus Jokovid”. Tanpa itu, kepemimpinan Prabowo akan terus terjebak dalam kesendirian, meski kursi presiden telah ia duduki.[]
Penulis: Sri Radjasa M.BA (Pemerhati Intelijen)
==========
Artikel ini bersifat opini, seluruh isi diluar tanggungjawab redaksi,. sepenuhnya tanggungjawab penulis