HARI Senin adalah hari pertama dalam minggu dalam sistem penanggalan yang umum digunakan di banyak negara, termasuk Indonesia. Secara tradisional, hari Senin dianggap sebagai awal pekan kerja atau sekolah setelah libur akhir pekan
Pernahkan anda merasa cemas setiap kali hari Senin datang? Atau merasa lebih stres dan lelah dari biasanya? Jika ya, Anda tidak sendiri — dan perasaan itu bukan sekadar sugesti. Tubuh Anda benar-benar merespons datangnya hari pertama dalam minggu kerja ini. Bahkan tanpa agenda yang padat atau tekanan khusus, banyak orang terbangun di hari Senin dengan suasana hati yang buruk: kurang semangat, murung, atau hanya merasa berat untuk memulai hari.
Hari Senin memang membawa nuansa yang berbeda, dan sayangnya, sering kali bukan dalam arti yang menyenangkan.
Mengutip psychology sport, berdasarkan sebuah studi yang dilakukan di Universitas Hong Kong mengungkapkan bahwa Senin adalah satu-satunya hari dalam seminggu yang dapat menimbulkan stres biologis jangka panjang, terlepas dari seberapa baik atau buruknya kondisi Anda di tempat kerja atau bahkan jika Anda sudah pensiun. Studi ini juga menunjukkan bahwa kondisi ini memiliki implikasi bagi kesehatan jantung.
Para peneliti ini menganalisis data lebih dari 3.500 orang dewasa dan menemukan bahwa kecemasan yang berkaitan dengan awal minggu, terutama hari Senin, menyebabkan peningkatan kortisol yang terus-menerus. Hormon stres ini meningkat sebesar 23% dan kadarnya dapat tetap tinggi hingga dua bulan setelahnya, bahkan jika Anda berhenti bekerja.
Mereka menjuluki fenomena ini sebagai “Senin yang penuh kecemasan” dan menjelaskan bahwa hal ini menyebabkan disregulasi sistem respons stres, yang merupakan faktor risiko perkembangan penyakit kardiovaskular.
Faktanya, sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal mengatur hormon stres, seperti kortisol, dan jika hormon ini terus meningkat seiring waktu, maka hormon ini akan menyebabkan hipertensi, resistensi insulin, dan disfungsi imun, sehingga meningkatkan risiko serangan jantung hingga 19%.
Mengapa hari Senin begitu memengaruhi kita?
Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa “hari Senin berperan sebagai penguat stres secara kultural,” menurut para peneliti. Semua hal tampaknya menunjukkan bahwa transisi mingguan ini memicu serangkaian proses biologis yang berlangsung selama berbulan-bulan, bahkan ketika kita berhenti bekerja.
Pada tingkat fisiologis, tubuh kita tidak membedakan antara ancaman nyata dan ancaman simbolis. Bagi otak kita, bunyi alarm pada Senin pagi dapat mengaktifkan jalur stres yang sama seperti ancaman fisik. Hal ini karena aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal yang disebutkan sebelumnya, yang mengatur kortisol, merespons dengan cepat setiap “tantangan”, baik yang nyata maupun yang diantisipasi.
Dan inilah triknya: Senin tidak hanya membawa segudang tugas, kewajiban, email yang tertunda, atau rapat yang tak terhitung jumlahnya; hari itu juga datang dengan penuh antisipasi. Selama akhir pekan, kita sedikit melepaskan diri dari ritme kerja. Namun, menjelang Minggu sore, kita sudah mengantisipasi apa yang akan terjadi. Kecemasan antisipatif itu , terkadang samar dan terkadang luar biasa, mengaktifkan sistem kewaspadaan kita.
Seiring waktu, aktivasi konstan ini membentuk ritme biologis kita. Otak belajar mengasosiasikan awal minggu dengan perasaan terancam, tuntutan, dan kurangnya kendali. Hasilnya: setiap Senin, bahkan saat kita sedang berlibur atau pensiun, sistem saraf kita bereaksi dengan cara yang sama. Ini adalah refleks yang terkondisi.
Jadi, ini bukan hanya tentang lingkungan kerja, seberapa stres kita, atau tingkat tuntutan yang kita hadapi, tetapi tentang seberapa dalam tertanamnya hari Senin dalam fisiologi stres kita. Dengan kata lain, kita telah mengotomatiskan respons stres di awal minggu kerja.
Strategi praktis untuk menghadapi “Senin Cemas” dengan lebih baik
Meskipun kita tidak dapat memprogram ulang diri kita sepenuhnya, kita dapat mengurangi dampak hari Senin terhadap kesehatan kita dengan beberapa strategi psikologis yang praktis dan berkelanjutan.
1. Hari Minggu tanpa pemberitahuan sebelumnya
Hindari memeriksa email atau mengerjakan PR di Minggu sore. Dengan begitu, Anda mengaktifkan respons stres lebih awal. Habiskan sore itu dengan melakukan aktivitas yang tidak berkaitan dengan hari Senin dan membantu Anda rileks. Semakin Anda menunda antisipasi, semakin Anda akan melindungi sistem kewaspadaan Anda.
2. Awali hari Senin dengan rutinitas yang tenang
Jika memungkinkan, rencanakan awal minggu yang lebih santai. Mulailah dengan tugas-tugas yang lebih sederhana dan hindari rapat penting di pagi hari. Transisi bertahap ini akan memungkinkan tubuh dan pikiran Anda beradaptasi tanpa mengalami lonjakan kortisol yang tiba-tiba.
3. Pengaturan tubuh
Tahukah Anda bahwa kadar kortisol melonjak saat Anda bangun setiap pagi? Berjalan kaki selama 10 menit, melakukan peregangan, atau berlatih pernapasan akan mengirimkan sinyal yang menenangkan ke sistem saraf Anda. Bahkan mandi air hangat dengan musik yang menenangkan dapat memberikan dampak positif pada awal minggu Anda.
4. Sarapan anti stres
Hindari melewatkan sarapan. Puasa yang terlalu lama justru memperparah respons stres. Pilihlah makanan yang kaya triptofan (seperti oatmeal, pisang, atau telur), yang membantu memodulasi sistem saraf dan menciptakan suasana tenang. Dan nikmati sarapan yang santai, meskipun itu berarti bangun sedikit lebih awal. Memulai minggu dengan terburu-buru hanya akan meningkatkan stres.
5. Ubah naskah mental
Alih-alih berpikir, “Hari ini Senin, menyebalkan sekali!”, ubahlah cara Anda membingkai momen tersebut dengan kalimat seperti, “Saya akan mulai tanpa terburu-buru hari ini.” Pembingkaian ulang kognitif semacam ini bukanlah sulap, tetapi akan membantu Anda mengurangi penolakan internal di awal minggu.
Senin mungkin tak pernah jadi hari favoritmu, dan mungkin tak akan pernah jadi hari favoritmu. Tapi, hari Senin juga tak harus menjadi ancaman hidup-mati setiap minggu.[]