Melirik Si Markus Kelas Kakap Ferry Boboho : Pintu Masuk Membongkar Jual Beli Hukum di Tubuh Kejagung

banner 120x600

FERRY Yanto Hongkiriwang alias Boboho, sosok pria tambun dengan wajah menggemaskan ternyata bukan sekadar figur nyentrik. Di balik tampangnya yang terkesan lucu, Ferry dikenal luas di lingkaran hitam sebagai pemain kelas kakap dalam dunia gelap makelar kasus (markus). Di jagat jual beli hukum yang busuk dan becek, nama Ferry Boboho menjulang sebagai “maestro pemuas” bagi para oknum penegak hukum, khususnya di lingkungan Kejaksaan Agung. Ia bukan hanya fasilitator, tapi pengatur permainan yang piawai merekayasa kasus, memeras koruptor, sekaligus menjadi penyetor rutin uang sogokan bagi para petinggi yang rakus dan tak punya malu.

Ferry tahu betul di mana letak kelemahan sistem. Ia membangun relasi dengan tangan-tangan kotor yang bisa mengatur dakwaan, menghentikan perkara, atau menutup penyidikan, semua dengan tarif. Dan demi melanggengkan praktik ini, Ferry rela menjadi sapi perah: uang haram dari kasus korupsi, mafia tanah, hingga kejahatan kerah putih lainnya digelontorkan dalam jumlah fantastis sebagai “upeti” bagi majikannya di institusi hukum. Di lingkungan Kejaksaan Agung, Ferry bukan orang luar, dia disebut-sebut sebagai pion penting dalam jaringan yang sistematis.

Go Atjeh Go Atjeh Go Atjeh

Namun, keperkasaan itu mulai runtuh pada Jumat, 25 Juli 2025 lalu. Ferry ditangkap oleh Polda Metro Jaya setelah membuat kegaduhan di sebuah hotel mewah Jakarta. Awalnya dianggap aksi premanisme biasa, namun terungkap bahwa insiden tersebut adalah bagian dari modus pemerasan. Kali ini Ferry apes: tak sempat merapikan skenario, ia langsung diciduk. Tapi publik tahu, ini bukan sekadar penangkapan preman kelas kakap. Ini semacam “pembukaan pintu” menuju jantung masalah yang lebih dalam, dan lebih gelap.

Banyak pihak meyakini penangkapan Ferry adalah bagian dari konflik senyap antara Polri dan Kejagung. Dugaan bahwa Ferry adalah perpanjangan tangan dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Febry Ardiansyah kian menguat. Sumber di kepolisian menyebut bahwa sebelum Ferry ditangkap, Polri telah mengantongi bukti keterlibatan Jampidsus dalam jaringan markus yang dijalankan Ferry. Penangkapan ini, dalam narasi off the record, adalah bentuk balasan polisi terhadap kejagung, pasca kasus penangkapan anggota Densus 88 yang menimbulkan ketegangan institusional. Maka, penggeledahan rumah Jampidsus pun dilakukan secara langsung dan terukur dan bukan reaktif, tapi sudah disiapkan dengan data lengkap.

Namun, ketegangan meningkat ketika pasukan TNI yang menjaga rumah Jampidsus diduga berupaya menghalangi penggeledahan yang dilakukan penyidik kepolisian. Ini bukan hanya soal institusi bersilang kepentingan, tapi menunjukkan betapa rawannya netralitas dan batas peran aparat ketika hukum diseret-seret dalam kepentingan pribadi elite. Keberadaan TNI dalam pengamanan rumah pribadi Jampidsus juga menimbulkan pertanyaan serius soal keberlakuan MoU antara Kejagung dan TNI. Apakah TNI kini ikut masuk dalam konflik sipil? Atau sedang dimanfaatkan untuk menutup jejak?

Demi menjaga marwah institusi militer, Panglima sudah selayaknya mengambil sikap strategis. Menarik pasukan pengawal dari lingkungan Kejaksaan bisa menjadi langkah bijak untuk sementara waktu, sambil menunggu terkuaknya kebenaran kasus Ferry Boboho dan dugaan keterlibatan Jampidsus dalam jaringan jual beli hukum. Jika dibiarkan, ini bukan hanya akan merusak citra TNI, tapi memperdalam kecurigaan publik bahwa institusi negara telah disandera oleh mafia hukum.

Kasus Ferry bukan akhir cerita, tapi merupakan pintu awal. Dan dari balik pintu itu, aroma busuk perdagangan hukum yang selama ini ditutup rapat mulai menyebar ke ruang publik. Kini pertanyaannya, apakah penegak hukum berani melangkah lebih dalam, atau kasus ini akan kembali ditutup rapi seperti biasanya dengan uang, kekuasaan, dan saling sandera? Semoga tragedi seperti itu tak kembali menjadi kisah sinetron hukum di bumi Nusantara.[]

Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

===========

Artikel ini bersifat opini, semua isi diluar tanggung jawab redaksi, sepenuhnya tanggung jawab penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *