Mafia Perbankan Berkedok Legalitas: Dugaan Kejahatan Terorganisasi di Tubuh PT Bank UOB Indonesia

banner 120x600

NEGARA hukum menjamin keadilan sebagai hak fundamental setiap warga negara. Jaminan itu ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan ditegaskan kembali dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun, ketika lembaga keuangan yang semestinya menjadi pilar ekonomi justru diduga menjadi pelaku kejahatan terorganisasi, keadilan pun terancam dipermainkan oleh kekuatan modal dan jaringan kuasa.

Kasus yang kini bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 754/Pdt.G/2023/PN Jkt Pst menjadi bukti bahwa dugaan kejahatan perbankan tak lagi bisa dianggap sepele. Seorang nasabah/penggugat melayangkan gugatan terhadap dua petinggi PT Bank UOB Indonesia: Hendra Gunawan (Tergugat I – Direktur Utama) dan Charles (Tergugat II – Wakil Presiden).

Go Atjeh Go Atjeh Go Atjeh

Keduanya diduga terlibat dalam tindak pidana penggelapan, pemalsuan dokumen, dan penipuan atas aset SHGB No. 81, dengan luas tanah mencapai 17.220 m² dan bangunan 4.500 m², bernilai sekitar Rp 87,74 miliar.

Yang membuat publik tercengang, putusan pengadilan justru tidak memperhatikan alat bukti yang relevan dan valid dalam perkara tersebut. Sebaliknya, pertimbangan hukum hakim didasarkan pada dokumen palsu milik PT Bank Buana Indonesia—bank yang telah dibubarkan sejak tahun 2007.

Anehnya, dokumen tersebut tetap digunakan seolah-olah sebagai bukti sah oleh PT Bank UOB Indonesia, yang padahal belum berdiri secara resmi pada tahun-tahun dimaksud (1992–2007).

Tak berhenti sampai di situ, terdapat dugaan bahwa PT Bank UOB Indonesia secara sistematis telah menjalankan usaha perbankan ilegal, dengan mengandalkan dokumen palsu serta memanipulasi data kepemilikan aset nasabah. Dugaan keterlibatan oknum aparat penegak hukum dan pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tangerang memperkuat asumsi adanya praktik mafia hukum dan mafia tanah yang mengakar dalam praktik keuangan institusi tersebut.

Jika ini benar, maka kita sedang berhadapan dengan ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi dan integritas hukum di negeri ini. Kejahatan perbankan seperti ini bukan hanya merugikan individu, tapi melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan nasional. Dampaknya bisa sistemik, bahkan menggerus perekonomian rakyat secara luas.

Presiden terpilih Prabowo Subianto diharapkan segera mengambil langkah serius untuk membenahi sektor perbankan. Penataan ulang sistem pengawasan, reformasi regulasi, dan penindakan tegas terhadap praktik korup, kolutif, dan manipulatif di lembaga keuangan harus menjadi prioritas.

Kejahatan terorganisir di sektor perbankan bukan hanya masalah ekonomi—ia adalah ancaman terhadap demokrasi, hak asasi manusia, dan keberlanjutan pembangunan. Oleh karena itu, sudah saatnya negara hadir secara tegas, dan tidak tunduk pada kepentingan oligarki keuangan.[]

Ditulis Oleh: Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

==========

Isi artikel ini diluar tanggung jawab redaksi, sepenuhnya tanggung jawab penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *