Mengapa Sekolah Berbasis Agama Kian Diminati?

banner 120x600

JAKARTA — Penanews.co.id — Fenomena meningkatnya minat masyarakat terhadap sekolah swasta berbasis agama menjadi sorotan penting dalam lanskap pendidikan nasional. Sekolah-sekolah yang mengusung identitas keagamaan, baik madrasah, sekolah Kristen, maupun Katolik, kini menjadi pilihan utama banyak orang tua, bahkan ketika sekolah negeri tersedia secara gratis.

Meskipun sekolah swasta lebih mahal, tetapi tetap dipilih karena hasilnya memuaskan dan sesuai harapan. Mengapa hal ini terjadi?

Go Atjeh Go Atjeh Go Atjeh

Salah satu alasan mendasar adalah keinginan orang tua agar anak-anak mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tumbuh dengan karakter yang kuat, berakar pada nilai-nilai moral dan religius. Dalam situasi sosial yang makin kompleks, banyak keluarga merasa pendidikan berbasis agama menawarkan perlindungan moral, pengetahuan agama mendalam, kedisiplinan, dan arah hidup yang jelas bagi anak-anak mereka.

Sekolah berbasis agama umumnya tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan kedisiplinan, kebiasaan doa atau refleksi harian, pembentukan etika sosial, serta penghayatan nilai-nilai hidup. Hal-hal ini sering kali dirasakan minim di sekolah negeri yang lebih menekankan aspek akademik dan administratif.

Martin Buber, filsuf religius Yahudi, menyatakan bahwa “pendidikan bukanlah soal mentransfer informasi, melainkan membentuk manusia dalam relasi yang tulus.” Dalam konteks ini, banyak sekolah berbasis agama justru menghadirkan relasi pendidik dan peserta didik yang lebih personal, spiritual, dan manusiawi.

Dalam pendekatan pedagogi Ignasian yang diterapkan di banyak sekolah Katolik, misalnya, pendidikan mencakup dimensi otak (kognitif), hati (afektif), dan tangan (aksi). Anak-anak diajak untuk berpikir kritis, merenung secara spiritual, dan bertindak secara etis. Inilah integrasi yang dirindukan banyak orang tua.

Preferensi Masyarakat

Preferensi ini bukan sekadar asumsi. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2022 menunjukkan bahwa 63,1 persen responden menyatakan lebih percaya sekolah berbasis agama dalam hal pembentukan karakter. Hal senada muncul dalam studi Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama (2021), yang menyebutkan bahwa mayoritas orang tua memilih madrasah atau sekolah Kristen/Katolik karena lingkungan yang religius, aman, dan disiplin.

Pertumbuhan jumlah sekolah swasta berbasis agama juga menunjukkan tren yang konsisten. Data Kemenag RI menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun, jumlah madrasah dan sekolah keagamaan swasta meningkat lebih cepat daripada sekolah negeri. Bahkan di daerah perkotaan yang memiliki akses luas ke sekolah negeri, sekolah agama tetap memiliki daya tarik tinggi.

Bukan berarti sekolah negeri tidak memiliki potensi dalam membentuk karakter. Namun, dalam banyak kasus, dimensi ini tidak mendapat tempat memadai dalam desain pendidikan nasional. Pendidikan karakter sering diposisikan sebagai “muatan tambahan”, bukan inti. Kurikulum yang padat, evaluasi berbasis angka, dan tekanan administratif membuat guru-guru kesulitan menyentuh sisi pembentukan kepribadian peserta didik.

Lebih jauh, pendekatan negara yang netral terhadap agama sering kali dipahami secara kaku, sehingga pendidikan nilai justru menjadi area kosong. Tidak jarang ditemukan, tidak semua sekolah negeri menyediakan guru Pendidikan yang seagama dengan pesrta didik. Padahal, nilai-nilai universal seperti kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, dan kasih sayang dapat diajarkan tanpa melanggar prinsip sekularisme negara.

Paus Fransiskus dalam dokumen Educating to Fraternal Humanism (2017) menekankan bahwa, “tujuan pendidikan bukan hanya untuk membekali kaum muda dengan keterampilan, tetapi juga untuk membangun dunia yang lebih manusiawi, lebih adil, dan penuh kasih.” Pesan ini sejalan dengan keinginan masyarakat terhadap pendidikan yang menanamkan nilai spiritual.

Demikian pula Paulo Freire, tokoh pendidikan dari Brasil, menegaskan bahwa “pendidikan sejati adalah praksis: refleksi dan aksi atas dunia untuk mengubahnya.” Pendidikan berbasis nilai, termasuk nilai agama, memungkinkan peserta didik tidak hanya cerdas, tetapi juga bertanggung jawab dan berani mengambil sikap etis dalam hidup.

Momen Introspeksi

Tingginya minat terhadap sekolah berbasis agama seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman terhadap sistem pendidikan nasional, melainkan sebagai kritik diam-diam dari masyarakat terhadap minimnya dimensi kemanusiaan dalam sekolah negeri. Negara perlu mendengar suara ini dengan lebih arif.

Ki Hadjar Dewantara telah lama mengingatkan bahwa pendidikan harus menumbuhkan budi pekerti (karakter), pikiran (intelek), dan jasmani anak secara utuh. Prinsip ini kini lebih konsisten dihidupi oleh sekolah berbasis agama, yang merawat nilai-nilai dan spiritualitas sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan.

Pendidikan yang utuh—yang menyentuh aspek akal, hati, dan tindakan—merupakan kebutuhan semua manusia, bukan monopoli satu agama atau sistem tertentu. Sekolah negeri dapat belajar dari praktik baik sekolah berbasis agama, khususnya dalam hal pembiasaan nilai, relasi personal, dan penghayatan spiritualitas hidup.

Saatnya sistem pendidikan nasional memberi ruang lebih besar bagi pendekatan pedagogis yang membentuk manusia seutuhnya, yang mencintai sesama manusia, lingkungan hidup dan Tuhan penciptnya, bukan sekadar administratif dan lulusan berijazah.

=============

Penulis Pormadi Simbolon adalah Pembimbing Masyarakat (Pembimas) Katolik Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Banten.

Sumber Kemenag.go.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *