JAKARTA – Penanews.co.id – Di tengah riuh tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo yang kini memasuki tahap penyidikan oleh Polda Metro Jaya, Ketua Umum Barisan Relawan Jalan Perubahan (Bara JP), Willem Frans Ansanay, memilih bersikap tenang namun tegas.
“Tenang saja dulu, kita ngopi dulu,” ucapnya santai, sebelum menyampaikan pandangan tajamnya, di markas DPP Bara JP Cempaka putih Jakarta, Kamis (17/07/2025)
Bagi Willem, polemik ini bukan sekadar soal selembar ijazah. Ia melihatnya sebagai bagian dari skenario yang lebih luas—framing sistematis, politisasi tanpa etika, dan narasi penuh kebencian dari kelompok yang sejak lama tidak nyaman dengan kepemimpinan Jokowi.
“ Kenapa Baru Sekarang?”
Dengan nada prihatin, Willem mempertanyakan motif di balik isu ini.
“Kenapa ijazah Jokowi tidak pernah dipersoalkan saat beliau mencalonkan diri sebagai Wali Kota, Gubernur, hingga Presiden dua periode? Kenapa justru sekarang, di ujung masa jabatan, tiba-tiba jadi polemik nasional?” tegasnya.
Ia menilai bahwa isu ini sengaja digoreng untuk kepentingan politik sesaat, bukan karena keinginan tulus mencari kebenaran.
“Kalau memang ingin menguji keaslian, ya datang saja ke Universitas Gadjah Mada. Jangan main lempar tuduhan di ruang publik tanpa dasar,” ujarnya.
“ Ini Bukan Soal Gelar, Tapi Soal Integritas”
Menurut Willem, yang patut diukur dari seorang pemimpin bukan hanya dokumen administratif, melainkan dampak nyata dari kepemimpinannya.
“Jokowi telah membuktikan kemampuannya membangun Indonesia—dari Sabang sampai Merauke, dari Papua sampai pulau-pulau terluar. Jalan dibuka, kapal disiapkan, konektivitas dibangun,” katanya.
Ia menegaskan: “Ini bukan soal gelar, tapi soal keberanian membenahi bangsa. Jangan biarkan fitnah menutup mata kita dari kenyataan itu.”
“ Konsekuensi, Bukan Kriminalisasi”
Terkait langkah hukum terhadap pihak-pihak yang menyebarkan tudingan palsu, Willem tidak melihatnya sebagai bentuk balas dendam.
“Ini bukan kriminalisasi. Ini konsekuensi hukum dari menyebarkan fitnah. Negara tidak boleh diam saat kehormatan presidennya dicemarkan,” ujarnya lugas.
“Kalau berani melempar tuduhan, harus siap bertanggung jawab. Itu bukan kezaliman, itu keadilan,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan para pengamat agar menjaga akal sehat dan etika dalam menyampaikan analisis.
“Jangan seolah bisa membaca isi hati Pak Jokowi. Demokrasi bukan berarti bebas mencemarkan nama orang seenaknya. Ada batas moral dan hukum yang harus dihormati,” katanya.
“ Jangan Cacatkan Warisan Bangsa”
Menutup pernyataannya, Willem menyerukan agar rakyat Indonesia menghargai setiap pemimpin yang pernah memegang amanah.
“Dari Soekarno sampai Jokowi, semua memberi warna dalam perjalanan bangsa ini. Kita boleh berbeda pilihan politik, tapi jangan merusak warisan sejarah hanya karena nafsu kekuasaan,” ujarnya.
Lalu, ia tersenyum pelan, memegang cangkir kopi di tangannya.
“Saya lanjut ngopi dulu. Karena bagi saya, keberanian bukan soal lantang berteriak, tapi soal siap menanggung akibat dari setiap ucapan dan tindakan,” pungkasnya.