SEPULUH tahun pemerintahan Jokowi, telah merubah wajah politik Indonesia, dipenuhi oleh luka demokrasi dan penghianatan terhadap cita-cita merdeka. Kekuasaan politik telah dijadikan berhala baru yang harus disembah sebagai ibadah fardhu ‘ain. Kekuasaan politik, memiliki kekuatan magis, untuk menundukan siapa saja yang kualitas keimanannya setipis kulit bawang.
Fanatisme penghambaan kepada Jokowi, melalui penciptaan berhala yang bernama relawan, terbukti secara instan menghadirkan luxury untuk para tokoh relawan. Pesona jokowi dengan magis kekuasaannya, memiliki andil terjadinya perubahan prilaku elite politik menjadi mata duitan dan materialistik.
Pendekatan nilai agama sebagai tuntunan hidup, tercampak dan teronggok disudut-sudut gubuk kumuh. Dalam etika politik Jokowi, rakyat hanya dijadikan tumbal bagi berhala politik. Mati dalam kemiskinan adalah takdir yang wajib dijalani rakyat, sebagai bentuk penghambaan terhadap Jokowi. Pahala dan dosa dilimpahkan oleh Jokowi, sesuai amal dan ibadah para relawan, tanpa diberi kesempatan untuk pembelaan diri. Kasus Beathor dan Armando, adalah potret penghambaan dan pembangkangan terhadap “sang pencipta” bernama Jokowi.
Beathor sesuai garis tangan, harus menerima nasib sebagai pendosa. Kisah Beathor akhirnya harus didepak dari “syurga” Jokowi. Beathor harus menerima nasib dicopot dari jabatan sebagai tenaga ahli BP Pengentasan Kemiskinan RI.
Sementara pada kesempatan yang sama, Ade Armando memperoleh pahala sebagai pemuas putra mahkota sang dewa, dianugerahan jabatan komisaris Perusahaan Listrik Negara (PLN). Nasib Armando segera berubah, karena memperoleh luxury dengan honorarium per bulan Rp 106.920.000, tunjangan transportasi per bulan, Rp 21.384.000; Tunjangan komunikasi per bulan, Rp. 1.000.000. Dalam sebulan Armando menerima Rp. 128.920.000,-, sebuah penghasilan yang dapat mengangkat status social seseorang dalam sekejap. Perolehan Armando, belum termasuk THR sebesar Rp. 106.920.000,- dan tantiem sebesar Rp. 673.879.500.
Betapa porak-porandanya moral para pemangku kebijakan di negeri ini, tidak segan untuk menjual harga dirinya, demi mengais limbah kekuasaan. Bangsa ini rindu dengan sosok pemimpin seperti Hoegeng atau Baharuddin Lopa. Mereka adalah figure penegak hukum dan pemimpin yang tak lekang oleh kelicikan oligarki dan cukong. Mereka adalah pemimpin yang menempatkan harkat dan martabatnya diatas nafsu rendahnya. Apakah salah jika hari ini rakyat kehilangan rasa hormat, terhadap para pemimpin yang didalam benaknya hanya tersimpan memori “sikat selagi menjabat”.
===========
Penulis Oleh : Sri Radjasa, M.BA, Pemerhati Intelijen
Opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis, diluar tanggung jawab redaksi,