Muhammadiyah memiliki pendirian tegas bahwa kunut khusus pada salat Subuh tidak disyariatkan. Keputusan ini berpijak pada kajian terhadap dalil-dalil syariat, khususnya hadis-hadis yang menjadi rujukan.
Mengutip Muhammadiyah.or.id Artikel ini akan mengupas alasan di balik sikap Muhammadiyah tersebut, dengan merujuk pada dalil-dalil otentik serta kaidah usul fikih yang mendasarinya.
Secara bahasa, kunut berarti tunduk kepada Allah SWT dengan penuh kebaktian. Dalam konteks ibadah salat, kunut juga diartikan sebagai thulul-qiyam (طُولُ اْلقِيَامِ), yakni berdiri lama untuk membaca Al-Qur’an atau berdoa sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, kunut yang dimaksud adalah praktik berdiri lama dalam salat untuk berdoa, sebagaimana yang disyariatkan oleh Rasulullah SAW. Hal ini merujuk pada hadis sahih yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الصَّلاَةِ أَفْضَلُ قَالَ طُولُ اْلقُنُوتِ
“Dari Jabir, ia berkata, pernah ditanyakan kepada Nabi, ‘Salat manakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Lama dalam berdiri’” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi, no. 353, dinilai sahih).
Hadis ini menegaskan bahwa kunut yang disyariatkan adalah thulul-qiyam, yaitu memperpanjang berdiri dalam salat untuk membaca Al-Qur’an atau berdoa, bukan doa khusus yang dibaca setelah rukuk pada salat Subuh, sebagaimana dipraktikkan oleh sebagian umat Islam.
Dalil-Dalil tentang Kunut Salat Subuh
Muhammadiyah berpendapat bahwa pelaksanaan kunut khusus pada salat Subuh tidak memiliki landasan dalil yang kuat. Beberapa hadis yang sering dijadikan rujukan untuk mendukung kunut Subuh dinilai lemah (daif) oleh para ulama hadis. Di antaranya adalah:
Hadis riwayat Imam Ahmad dari Anas bin Malik:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّي فَارَقَ الدُّنْيَا
“Dari Anas bin Malik, ia berkata, Rasulullah SAW terus melakukan kunut pada salat Subuh sampai beliau wafat” (HR. Ahmad, no. 12196, dinilai daif oleh Syu’aib al-Arna’uth).
Hadis riwayat Imam Ahmad dari Muhammad bin Sirin:
عَنْ مُحَمَّدٍ يَعْنِي ابْنَ سِيرِينَ، قَالَ: سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، هَلْ قَنَتَ عُمَرُ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْ عُمَرَ، رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَعْدَ الرُّكُوعِ
“Dari Muhammad, yaitu Ibnu Sirin, ia berkata, aku bertanya kepada Anas bin Malik, ‘Apakah Umar melakukan kunut?’ Anas menjawab, ‘Ya, dan orang yang lebih baik dari Umar, yaitu Rasulullah SAW, juga melakukannya setelah rukuk’” (HR. Ahmad, no. 12708, dinilai daif oleh Syu’aib al-Arna’uth).
Kedua hadis ini, meskipun menyebutkan praktik kunut, memiliki isnad (rantai perawi) yang lemah, sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum yang kuat. Selain itu, hadis lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik menjelaskan bahwa Nabi SAW hanya melaksanakan kunut selama satu bulan, dan tidak ada keterangan bahwa kunut tersebut terbatas pada salat Subuh.
Bahkan, hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari menegaskan bahwa Nabi SAW melakukan kunut pada semua salat wajib—Zuhur, Asar, Magrib, Isya, dan Subuh—bukan secara eksklusif pada salat Subuh.
Berdasarkan analisis dalil-dalil tersebut, Muhammadiyah menyimpulkan bahwa hukum membaca kunut khusus dalam salat Subuh adalah daif atau tidak memiliki landasan yang kuat. Keputusan ini diperkuat oleh kaidah usul fikih yang berbunyi:
الْجَرْحُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيْلِ
“Penilaian buruk (jarh) didahulukan atas penilaian baik (ta’dil).”
Kaidah ini menegaskan bahwa jika terdapat hadis dengan isnad lemah, maka hadis tersebut tidak dapat dijadikan landasan hukum, meskipun ada hadis lain yang dinilai sahih tetapi tidak secara spesifik mendukung praktik kunut Subuh.
Oleh karena itu, Muhammadiyah tidak memasukkan kunut sebagai bagian dari tata cara salat Subuh, kecuali dalam konteks kunut nazilah yang dilakukan dengan syarat tertentu, seperti saat umat Islam menghadapi musibah besar.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Hukum Membaca Basmalah dan Kunut dalam Shalat”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No 04 Tahun 2022.