DPRA: Patut Diduga Batas Daratan Bergeser, Maka Pulau Terlepas

banner 120x600

ACEH SINGKIL – Politisi Partai Gerindra Hadi Surya, S.TP, MT angkat bicara lagi soal empat pulau Aceh Singkil, Provinsi Aceh kini sah menjadi milik Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Menurut Hadi, 4(empat) pulau yakni Pulau Panjang, Mangkir Gadang, Mangkir Ketek dan Pulau Lipan bisa lepas ke Provinsi tetangga bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Dia menduga lepasnya empat pulau tersebut karena adanya pergeseran batas daratan antar provinsi.

Go Atjeh Go Atjeh Go Atjeh

“Dari pengamatan dan kajian lapangan yang saya ikuti secara langsung, saya menduga bahwa masalah empat pulau yang selama ini menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil menjadi wilayah Sumatera Utara, bukanlah masalah yang berdiri sendiri,” jelasnya.

Mantan Anggota DPRK Aceh Selatan 2 (dua) periode ini menambahkan, selain potensi cadangan gas alam, ada masalah yang lebih awal muncul di daratan. Tepatnya di wilayah perbatasan antara Kecamatan Danau Paris (Aceh Singkil) dan Manduamas (Tapanuli Tengah, Sumatera Utara), di wilayah tersebut berdiri sebuah perusahaan.

“Yang menjadi perhatian saya adalah ada dugaan kuat terjadinya revisi atau perluasan koordinat HGU Sawit tersebut ke arah utara, yang secara perlahan namun pasti mendekati atau bahkan memasuki wilayah Aceh. Maka akibatnya, kuat dugaan Saya terjadi potensi pergeseran batas darat antarprovinsi,” ujarnya.

Mantan Ketua DPC Partai Gerindra Aceh Selatan mengatakan, dalam perspektif administrasi maupun hukum tata ruang nasional, bahwa batas laut dihitung berdasarkan garis darat. Maka, jika batas darat bergeser, batas laut pun ikut bergeser.

“Inilah menurut saya penyebab utama munculnya klaim terhadap Pulau Panjang dan ketiga pulau lainnya oleh Provinsi Sumatera Utara,” katanya.

Seperti diketahui bahwa persoalan batas darat antar provinsi Aceh dan Sumut tepatnya di Kecamatan Danau Paris (Aceh Singkil) dan kecamatan Manduamas (Tapteng) sebetulnya belum menemukan titik terang persoalan yang bertahun – tahun bahkan sempat terjadi pertumpahan darah pada tahun 2020 dan tahun-tahun sebelumnya.

Hampir setengah Desa Lae Balno kecamatan Danau Paris, Aceh Singkil di klaim menjadi wilayah Tapteng, jangan lahan, kantor Desa Lae Balno juga turut menjadi wilayah Manduamas.

Persoalan ini pun sempat menjadi perhatian sejumlah pihak, termasuk politisi dan tokoh besar Aceh, bahkan Wali Nanggroe turut hadir ke Danau Paris pada 2020 lalu.

Mengenai hal ini menurut Sekretaris Komisi III DPR Aceh tersebut menilai perlunya dilakukan review kembali dengan melibatkan Pemerintah Aceh, Pemerintah Sumut dan Pemerintah Pusat dalam hal ini ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Untuk mendapat kepastian hukum dan meminimalisir konflik warga kedua daerah.

“Kalau di biarkan terus berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan ini akan jadi bom waktu di kemudian hari yang merugikan kedua daerah,”imbuhnya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *