BANDA ACEH – Khauri (kenduri) Kuah Beulangong memperingati dua tahun diakuinya Hikayat Aceh Memory of The World oleh Unesco yang digelar Majelis Seniman Aceh (MaSA) Sabtu (24/05/2025) malam berlangsung semarak, meski sempat diguyur gerimis.
Khauri kuah beulangong itu juga sebagai wujud syukur atas diakuinya karya-karya Syech Hamzah Fansuri sebagai Memory of The World oleh UNESCO pada tahun 2025. Acara bertajuk ”Gelar Karya Besar Hikayat Aceh dan Hamzah Fansuri” itu diawali dengan tabuhan Rapai Pase oleh seniman dan aktivis kebudayaan asal Krueng Mane, Kabupaten Aceh Utara, Zulfadli Kawon.
Kemudian Emil Sukon maju sebagai master of ceremony dan mempersilakan para seniman menampilkan karya terbaiknya.
Panggung pun menjadi meriah dengan tarian prang sabi yang dibawakan oleh para penari dari Sanggar Cut Nyak Dhien.
Dua pelukis Aceh, Tauris Mustafa dan Firmansyah alias Olex mulai melukis sesuatu di kanvas di sisi kiri panggung. Suasana menjadi lebih hidup ketika Marching Band Gita Handayani tampil membawakan lagu Indonesia Raya dan Hyme Aceh sebagai bagian dari seremonial acara.
Ulama muda Aceh Abiya Habibie Waly Al Khalidy kemudian naik ke panggung menyampaikan tausiah tentang peran seni dalam Islam. Menurunya, syair adalah bagian dari perjuangan Islam. Para indatu orang Aceh telah membuktikan itu dengan menciptakan syair-syair heroik seperti Hikayat Prang Sabi yang ditulis Teungku Chik Kuta Karang, yang menjadi penyemangat dalam membangun heroisme perang melawan penjajah Belanda.
Selain itu kata Abuya Habibie Waly, ulama-ulama Aceh tempo dulu merupakan seniman yang mampu menciptakan karya-karya agung yang dikenal hingga sekarang, seperti Syech Hamzah Fansuri, dalam salah satu karyanya adalah syair perahu. Dalam syair itu dijelaskan bagaimana perahu bisa tenang di lautan ketika banyak ombang menerjang.
Tapi menurut Abiya Habibie Waly, hakikatnya Syech Hamzah Fansuri dalam syair itu bukan menjelaskan tentang perahu, tapi tentang keimanan. Begitulah seharusnya iman seorang hamba kepada Allah tetap tenang di tengah berbagai goncangan dan ujian.
“Hakikat syarir yang ditulis oleh ulama kita adalah untuk mengenal Allah lebih dekat. Mari berjuang untuk terus untuk memajukan seni. Para ulama Aceh tempo dulu telah mampu menjadikan syair sebagai senjata dalam melawan kedhaliman penjajahan Belanda,” ujarnya.
Syarifah Alya Arsyifa dari Universitas Bina Bangsa Getsampena dan Sekolah Hamzah Fansuri selanjutnya tampil membacakan syair Dagang karya Hamzah Fansuri, yang kemudian dilanjutkan dengan penampilan sanggar Citka Geunta yang membawakan syair Na’at Nabi.
Sarjev Hirzy sebagai ketua panitia kemudian tampil ke panggung, tapi tak ada kata sambutan, baginya acara malam itu bukan “lomba pidato” tapi ajang para seniman Aceh untuk menampilkan bakatnya. Sarjev malah memangil Sekjen MaSA, Thayeb Loh Angen untuk naik ke panggung membacakan Hikayat Aceh bersama filolog Aceh, Hermansyah. Mereka membacakan penggalan dari isi Hikayat Aceh tentang kisah Raja Aceh Indra Syah (kakeknya Iskandar Muda) berkunjung ke negeri China, Putri Nurkamarain istri Indra Syah hamil di sana dan meminta pulang ke Aceh untuk melairkan anaknya di Aceh.
Sarjev masih sibuk di pangung, ia mempersilahkan para seniman tutur Aceh dalam bahasa aneuk cae untuk tampil secara kolaboratif, diawali Syeh Talimin dianjutkan penyanyi A Bakar bakar AR dari depan pentas, kemudian menyusul Rusli Arafika alias Apa Gense.
Gerimis masih turun ketika Sikrayat (kolaborasi Nisful Nahar dan Ismul dalam genre gambus) tampil membawakan syair selawat, lalu Lea Amalea menyusul membawakan hikayat prang sabi diiringai petikan gitar Aloel Kande. Kemudian Krakustik membawakan lagu “Rumeh” dan Maimunzir alias Bang Gaes bersama Ebon Fander membawakan lagu “Nanggroe”.
Kedua lagu tersebut ciptaan Sarjev. Sebagai lagu terakhir tampil Busnior (Farol, salah satu personil Orang Utan Skuad)
Dua jam telah berlalu, Taurids Mustafa dan Olex baru menyelesaikan lukisan mereka di kanvas berukuran 120 cm x 150 cm. Lukisan bawah laut dengan perahu di permukaan air yang menjuntai tali ke bawahnya bersama buku yang terbuka dalam air.
Seolah memahami rasa penasaran penonton tentang lukisan itu, master ceremony yang memandu acara menyakannya kepada Tauris dan Olex. Ternyata lukisan itu ada kaitannya dengan syair perahu Syeich Hamzah Fansuri.
Tauris menjelaskan, ide gagasan cerita dalam lukisan terkait keberadaan manusia sebagai makhluk Allah yang berada di lautan zat peuneujeuet Allah yang diwujudkan dalam lukisan view bawah laut. Kemudian gambar perahu umpama hamba yang harus berpegang teguh pada pencipta.
“Simbolisnya ada pada tali tambat perahu yang menjuntai ke bawah, meliuk bertuliskan Allahu. Ada dua dayung, kanan bermakna habluminallah, kiri bermakna habluminannas, buku umpama syair dan isi dari Alquran yang harus kita pedomani dan pelajari. Jangan sampai tiba masa Alquran itu tidak menyentuh jiwa manusia lias beunak hate,” jelasnya.
Sementara itu Ketua Umum Majelis Seniman Aceh, Chairiyan Ramli, mengatakan, dalam rangkaian memperingati penetapan UNESCO terhadap Hikayat Aceh dan karya Hamzah Fansuri tersebut, pihaknya didukung oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 1 Aceh, Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Aceh, UPTD Museum Aceh, UPTD Taman Seni Dan Budaya Aceh, Bank Aceh, Universitas Ubudiyah Indonesia, UIN Ar Raniry, Masyarakat Penaskahan Nusantara Aceh, Krakustik, Sekolah Hamzah Fansuri, Kasga Record, Portalsatu, Sekolah Musik Moritza, dan berbagai pihak lainnya.[]