Majelis Seniman Gelar Seminar Hikayat Aceh dan Hamzah Fansuri di Museum Aceh

banner 120x600

BANDA ACEH – Majelis Seniman Aceh (MASA) mengadakan seminar dan pemeran “Gelar Karya Besar Hikayat Aceh dan Hamzah Fansuri Memory of The World UNESCO ”, Sabtu (24/05/2025) di Museum Aceh, Banda Aceh.

Seminar yang diadakan bertepatan pada 2 tahun daikuinya Hikayat Aceh sebagai Memory of the World oleh UNESCO tersebut menghadirkan pemareri Hermansyah, M.Th, M.Hum, Drs. Nurdin AR, M.Hum, Drs. Teuku Abdullah SH, MA yang dikeal sebagai TA Sakti. Sebelum seminar dimulai dibacakan syair ruba’i karya Hamzah Fansuri oleh Syarifah Alya Arsyifa dari Universitas Bina Bangsa Getsampena dan Sekolah Hamzah Fansuri.

Go Atjeh Go Atjeh Go Atjeh

Pada seminar dan pameran tersebut pihak Museum Aceh menampilkan delapan naskah klasik Aceh berupa: Hikayat Bustamam, Hikayat Malem Diwa, Hikayat Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam, Hikayat Raja Jumjumah, Hikayat Baluqia Affan, Hikayat Nun Farisi, Zinatul Muwahhidin Hamzah Fansuri, serta Hikayat Fadhan dan Hikayat Perang Khaibar.

Kepala Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Aceh, yang diwakili kepada UPTD Museum Aceh, melalui Kepala Tata Usaha UPTD Museum Aceh, Nurhasanah, saat membuka acara tersebut mengajak semua pihak untuk menjadikan museum sebagai tempat belajar bersama, mengenal objek-objek benda bersejarah dan budaya bangsa.

“Ada 1.600 naskah di Museum Aceh yang bisa dipelajari, diteliti untuk berbagai kepentingan pemajuan budaya dan peradaban Aceh. Kunjungilah Museum Aceh. Kami buka dari pukul 09.00 WIB – 16.00 WIB, setiap hari dari Sabtu sampai Kamis. Cuma hari Jumat libur,” jelasnya.

Sementara itu Prof. Yusny Saby, selaku Majelis Kehormatan Majelis Seniman Aceh, dalam sambutannya menjelaskan, Hikayat Aceh yang sudah diakui sebagai Memory of The World UNESCO menunjukkan tingginya peradaban Aceh pada masa lalu. Hikayat Aceh ditulis dengan seni yang indah.

“Pertanyaannya sekarang sudah sejauh mana kiat kita untuk berjihad meraih kesuksesan untuk menghasilkan karya-karya besar sambil merawat karya-karya peninggalan pendahulu kita?” tanyanya.

TA Sakti yang tampil sebagai pembicara pertama mengungkapkan, Hikayat Aceh kurang terkenal di Aceh karena ditulis dalam bahasa Melayu, hanya ada sekitar 50 kata dari bahasa Aceh dalam hikayat tersebut. “Artinya bahasa Aceh pada masa itu sudah dipakai untuk memperkaya bahasa Melayu,” jelasnya.

Hikayat Aceh yang sudah diakui sebagai Memory of The World oleh UNESCO tersebut bercerita tentang Sultan Iskandar Muda, tapi naskah yang diakui itu sudah banyak yang hilang, terutama terkait kiprah Sultan Iskandar Muda.

“Tahun 1847 Belanda sudah mempelajari isi Hikayat Aceh untuk mengetahui keadaan dan seluk beluk Aceh sebelum memerangi Aceh pada 1873. Menriknya ada satu bagian Hikayat Aceh yang menceritakan bahwa Aceh pernah 15 tahun berdamai dengan Portugis, mungkin karena ada satu bagian ini maka diakui oleh UNESCO,” kata TA Sakti.

Pemateri kedua Drs Nurdin AR, dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar Raniry memaparkan tentang “Hamzah Fansuri dan Karya-karya Tasaufnya” menjelaskan bahwa Hamzah Fansuri merupakan penyair Melayu terbesar asal Aceh, salah seorang pencipta teks sastra tinggi dunia, baik dalam genre prosa maupun puisi.

Menurut Mantan Kepala Museum Aceh ini, karya-karya Hamzah Fansuri banyak yang dibakar ketika terjadi pertentangan paham Wahdatul Wujud di Aceh. beberapa karya Hamzah Fansuri yang tersisa antara lain: Syarabul ‘Asyikin atau minuman orang orang asyik, Zinatul Muwahidin atau perhiasan orang orang yang mengesakan Allah, Asraful ‘Arifin atau rahasia orang orang arif, Muntahi atau orang yang mencapai pengenalan tertinggi, Rahasia Kitab Insanul Kamil, serta Ruba’i yaitu suatu kumpulan syair sufiistik Hamzah Fansuri.

“Karya-karya Hamzah Fansuri merupakan karya-karya tasauf yang sulit untuk dikaji karena butuh keterampilan khusus. Bahkan untuk memahami syair Hamzah Fansuri harus membaca karya Hamzah Fansuri lainnya atau membaca syarah yang ditulis oleh orang lain, seperti Syarah Rabai Hamzah Fansuri yang ditulis oleh Syamsuddin Sumatrani,” ungkapnya.

Pada acara yang sama filolog Aceh, Hermansyah yang sudah banyak berkecimpung dalam penelitian filologi Melayu-Aceh, khususnya terkait manuskrip kuno Aceh menjelaskan, diakuinya Hikyat Aceh dan karya-karya Hamzah Fansuri sebagai Memory of The World merupakan suatu anugerah bagi Aceh.

Menurutnya, naskah Hikayat Aceh yang diketahui keberdaannya sekarang hanya ada tiga, satu di Perpustakaan Nasional, dua di Leiden, Belanda. Tapi naskah Hikayat Aceh yang ada itu hanya bercerita tentang Iskandar Muda sampai usia 14 tahun. Selebihnya telah hilang. Naskah itu menjadi terkenal karena dikaji oleh orang luar sehingga diakui sebagai Memory of The World.

“Ada banyak manfaat bagi Aceh dengan diakuinya Hikayat Aceh dan karya-karya Hamzah Fansuri sebagai Memory of The World oleh UNESCO. Ini merupakan promosi gratis bagi khasanah Aceh, branding dan pengakuan internasional, pelestarian warisan dokumen secara global,” ujarnya.

Ketua Umum Majelis Seniman Aceh, Chairiyan Ramli, mengatakan, dalam rangkaian memperingati penetapan UNESCO terhadap Hikayat Aceh dan karya Hamzah Fansuri tersebut, pihaknya didukung oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 1 Aceh, Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Aceh, UPTD Museum Aceh, UPTD Taman Seni Dan Budaya Aceh, Bank Aceh, Universitas Ubudiyah Indonesia, UIN Ar Raniry, Masyarakat Penaskahan Nusantara Aceh, Krakustik, Sekolah Hamzah Fansuri, Kasga Record, dan berbagai pihak lainnya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *