BANDA ACEH — Direktur Emirate Development Research (EDR), Usman Lamreung, mengatakan, sebagai daerah otonomi khusus, Aceh memiliki kewenangan penuh dalam mengelola sektor pendidikan. Namun, hingga kini belum terlihat lompatan signifikan dalam mutu dan tata kelola pendidikan meski bergantinya kepemimpinan.
“Pergantian kepemimpinan tidak disertai dengan kesinambungan kebijakan, sementara program prioritas seperti peningkatan kualitas guru, sarana-prasarana, dan mutu pembelajaran belum dijalankan secara konsisten dan terukur,” ungkap Usman pada penanews.co.id, Jumat (23/05/2025)
“Kondisi ini menciptakan stagnasi yang berdampak serius pada kualitas lulusan dan daya saing daerah. Masyarakat terus mempertanyakan efektivitas pemerintah dalam membenahi sistem pendidikan yang justru terjebak dalam siklus birokrasi dan politik”, tambahnya
Ia menyebutkan masalah utama terletak pada absennya kesinambungan program. “Banyak inisiatif positif terhenti saat terjadi pergantian pejabat dinas, karena orientasi kebijakan cenderung mengikuti visi pejabat baru. Akibatnya, program kehilangan arah, capaian tidak terukur, dan akuntabilitas lemah” ungkap pengamat politik dan kebijakan publik itu.
Lebih parah lagi, politisasi anggaran menjadi penghalang utama. Dukungan legislatif terhadap program pendidikan kerap dipengaruhi kepentingan politik jangka pendek. Dokumen perencanaan strategis seperti RPJM hanya menjadi formalitas, sementara program ‘titipan’ tanpa dasar kebutuhan lapangan terus dijalankan—merusak arah pembangunan pendidikan yang sesungguhnya.
Dalam situasi ini, Aceh membutuhkan arah kebijakan pendidikan yang kuat, berkelanjutan, dan berbasis kebutuhan lokal. Gubernur harus menetapkan kebijakan jangka panjang (20 tahun) yang menjadi rujukan semua pemangku kepentingan, dan memastikan kesinambungan implementasinya lintas periode politik.
“Sinergi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta koordinasi antar lembaga pendidikan mutlak diperlukan. Tanpa itu, mimpi menciptakan lulusan yang unggul, inovatif, dan berakhlak akan terus menjadi wacana tanpa realisasi, pungkas Usman.