Heboh isu Vasektomi dan Kontrasepsi, Begini Tinjauan Hadits dan Sikap Ulama

banner 120x600

Isu vasektomi belakangan ramai diperbincangkan di masyarakat, terutama di Jawa Barat. Prosedur medis ini, yang bertujuan mencegah kehamilan dengan memotong atau mengikat saluran sperma pada pria, sering dianggap sebagai solusi praktis dalam perencanaan keluarga.

Namun, di tengah manfaatnya, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana hukum vasektomi dalam Islam?

Go Atjeh Go Atjeh Go Atjeh

Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, persoalan ini tidak hanya berkaitan dengan kesehatan, tetapi juga menyentuh aspek syariat. Banyak yang mempertanyakan apakah vasektomi diperbolehkan dalam Islam atau justru dilarang.

Secara spesifik, tidak ada hadits yang membahas vasektomi karena metode ini belum dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW. Namun, terkait kebiri—baik untuk mencegah kehamilan maupun mengendalikan syahwat—beberapa hadits memberikan penjelasan. Salah satunya adalah riwayat dari Abdullah bin Amr yang menyebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي أَنْ أَخْتَصِيَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خِصَاءُ أُمَّتِي الصِّيَامُ وَالْقِيَامُ  

Artinya, “Dari Abdullah bin Amr, dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk mengebiri diri.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Kebiri umatku adalah puasa dan shalat malam.” (HR Ahmad).

Hadits ini menggambarkan seorang sahabat yang meminta izin kepada Rasulullah saw untuk mengebiri diri sebagai upaya mengendalikan hawa nafsu. Namun, Rasulullah melarangnya dan menawarkan solusi alternatif berupa puasa dan shalat malam. Hadits ini menunjukkan bahwa solusi Rasulullah kepada sahabat tersebut merupakan metode spiritual untuk mengelola hawa nafsu.

Penjelasan lebih lanjut tentang konteks hadits ini dapat ditemukan dalam kitab Faidhul Qadir. Disebutkan bahwa permintaan tersebut datang dari Utsman bin Mazh’un, yang ingin mengebiri diri dan hidup bertapa di gunung. Rasulullah saw menolak keinginan tersebut dan menganjurkan puasa serta shalat malam sebagai cara yang lebih baik dan lebih mudah untuk mencapai pengendalian diri, sekaligus mendatangkan pahala yang lebih besar. 

  وأرشده إلى ما يقوم مقامها في حصول الثواب، بل هو أعظم منها فيه وأيسر، وهو الصيام والقيام في الصلاة، يعني التهجد في الليل. فإن الصوم يضعف الشهوة ويكسرها، والصلاة تذبل النفس وتكسب النور، وبذلك ينكسر باعث الشهوة، فتذل النفس وتنقاد إلى ربها. (حم طب عن ابن عمر)  

Artinya, “Rasulullah saw mengarahkan Utsman bin Mazh’un kepada sesuatu yang dapat menggantikan (kebiri) dalam memperoleh pahala, bahkan lebih besar pahalanya dan lebih mudah, yaitu puasa dan shalat malam, yang dimaksud adalah tahajud di malam hari. Karena puasa melemahkan dan mematahkan syahwat, sedangkan shalat membuat jiwa menjadi rendah dan memperoleh cahaya. Dengan demikian, dorongan syahwat menjadi lemah, jiwa menjadi tunduk, dan patuh kepada Tuhannya.” (Al-Munawi, Faidhul Qadir, jilid XIII, halaman 96).

Keabsahan hadits di atas dijelaskan dalam kitab At-Tanwir Syarh al-Jami’ ash-Shaghir. Disebutkan bahwa hadits ini memiliki sanad yang jayyid (setara kualitas hadits hasan), dan para perawinya terpercaya. (Al-Munawi, At-Tanwir Syarhul Jami’ As-Shaghir, [Riyadh, Maktabah Darul Islam: 2011], jilid V, halaman 482).

Merujuk kepada konteks yang lebih dalam lagi, terdapat informasi bahwa Utsman bin Mazh’un sebenarnya diutus oleh sekelompok sahabat dari kalangan Ahli Shuffah, yang tidak mampu menikah karena keterbatasan ekonomi.

Mereka mengutus Utsman untuk meminta izin kepada Rasulullah saw agar mereka boleh mengebiri diri. Rasulullah pun melarang tindakan tersebut dan memerintahkan mereka untuk berpuasa, karena puasa dapat melemahkan syahwat dan menjadi solusi yang sesuai dengan syariat. (Al-Muzhiri, Al-Mafatih fi Syarhil Mashabih, jilid II, halaman 76).

Kita mengetahui bahwa metode yang diajarkan Rasulullah saw untuk mengebiri syahwat adalah melalui puasa. Namun, konteks hadits di atas tidak ditujukan kepada pasangan yang sudah menikah, melainkan kepada mereka yang belum menikah, memiliki keinginan untuk menikah, tetapi terkendala oleh keterbatasan kemampuan, seperti ekonomi.

Bagi pasangan yang sudah menikah, terdapat hadits yang membahas tentang upaya menunda kehamilan, seperti hadits-hadits mengenai ‘azl. ‘Azl adalah praktik mengeluarkan sperma di luar rahim untuk mencegah kehamilan, yang dalam istilah medis dikenal sebagai coitus interruptus atau hubungan intim yang diinterupsi.

Setidaknya terdapat dua hadits mengenai praktik ‘azl. Hadits pertama membolehkan, dan hadits kedua cenderung adanya pelarangan namun disampaikan oleh Rasulullah dengan bahasa kiasan atau metaforis. Berikut kedua riwayatnya:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَنْهَنَا  

Artinya, “Dari Jabir RA, ia berkata, kita mempraktikkan ‘azl pada masa Rasulullah SAW, kemudian informasi itu sampai kepada Nabi, tetapi beliau tidak melarangnya.” (HR Muslim).  

عَنْ جُدَامَةَ بِنْتِ وَهْبٍ أُخْتِ عُكَّاشَةَ قَالَتْ: حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أُنَاسٍ وَهُوَ يَقُولُ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ. فَنَظَرْتُ فِي الرُّومِ وَفَارِسَ فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلَادَهُمْ فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَأَلُوهُ عَنْ الْعَزْلِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيُّ 

Artinya, “Dari Judamah binti Wahb, saudara perempuan ‘Ukkasyah, ia berkata, saya hadir pada saat Rasulullah bersama sekelompok orang, beliau berkata, sungguh aku ingin melarang ghilah (menggauli istri pada masa menyusui/menyusui anak ketika hamil).   Kemudian aku memperhatikan orang-orang Romawi dan Persia ternyata mereka melakukan itu, tetapi sama sekali tidak membahayakan anak-anak mereka. Kemudian mereka bertanya tentang ‘azl (mengeluarkan sperma di luar rahim), lantas Rasulullah menjawab, itu adalah pembunuhan yang terselubung.” (HR Muslim). 

Menanggapi dua hadits di atas, Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menyimpulkan bahwa hukum menunda kehamilan dengan cara ‘azl tidaklah haram, namun makruh tanzih, alias praktiknya dianjurkan untuk ditinggalkan, karena dapat menghalangi proses manusia untuk memiliki keturunan. Berikut sikap beliau:

هذه الأحاديث مع غيرها يجمع بينها بأن ما ورد في النهى محمول على كراهة التنزيه وما ورد في الاذن في ذلك محمول على أنه ليس بحرام وليس معناه نفى الكراهة

Artinya, “Hadits-hadits ini, bersama dengan hadits lainnya, diselaraskan dengan memahami bahwa larangan yang disebutkan menunjukkan karahah tanzih (makruh, bukan haram), sedangkan izin yang disebutkan menunjukkan bahwa (‘azl) tidak haram, tetapi izin tersebut tidak berarti menghilangkan status kemakruhan.” (Syarah Shahih Muslim, [Dar Ihya At-Turats Al-‘Arabi: 1392], jilid X, hlm. 10).

Dalam putusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (Munas Alim Ulama NU) tahun 1960, menunda kehamilan diperbolehkan, namun hukumnya makruh. Praktik penundaan kehamilan ini, selain dengan metode ‘azl, juga dapat dilakukan melalui penggunaan kondom, spiral (IUD), atau jenis alat kontrasepsi lainnya yang bersifat sementara dan tidak permanen, sebagaimana ditegaskan dalam putusan Munas Alim Ulama NU tahun 1989. Pada tahun yang sama (1989), NU juga menetapkan keharaman metode kontrasepsi permanen, seperti vasektomi dan tubektomi, sebagaimana tercantum dalam putusan tersebut.

Sebagai penutup, isu vasektomi dan berbagai metode kontrasepsi tidak hanya perlu ditinjau dari aspek medis dan praktis, tetapi juga dari perspektif etika dan nilai yang dianut oleh masyarakat. Sehingga, pemerintah pemegang kebijakan, ulama, tenaga medis, serta masyarakat harus bersinergi untuk memastikan bahwa pengendalian populasi dilakukan dengan cara yang sesuai, sekaligus mencegah dampak negatif ledakan penduduk terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia. Wallahu a’lam.

Sumber:  NU Online ditulis oleh Ustadz Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *