Pusat Riset Ilmu Kepolisian USK Gelar Seminar Nasional Bahas RUU KUHAP, Berpotensi Tumpang Tindih Kewenangan Jaksa dan Polisi

banner 120x600

BANDA ACEH – Pusat Riset Ilmu Kepolisian Universitas Syiah Kuala (USK) menyelenggarakan Seminar Nasional bertema “Rancangan Undang-undang KUHAP yang Partisipatif, Kolaboratif, dan Transparan dalam Mewujudkan Hukum yang Berkeadilan” di Aula Moot Court Fakultas Hukum USK, Kamis (17/04/2025).

Seminar ini digelar sebagai respons terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) oleh pemerintah dan DPR, menyusul disahkannya KUHP baru melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023. RUU KUHAP direncanakan menjadi dasar hukum formil saat KUHP baru mulai berlaku pada 1 Januari 2026.

Go Atjeh Go Atjeh Go Atjeh

Empat nara sumber yang hadir dalam seminar tersebut, yaitu Wakil Ketua KPK periode 2015–2019 Laode M. Syarif, S.H., LL.M., Ph.D.; Guru Besar Fakultas Hukum USK Prof. Dr. Rizanizarli, S.H., M.H.; akademisi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Dr. Alpi Sahari, S.H., M.Hum.; dan Sekretaris DPC Peradi Aceh Dr. Syahrul Rizal, S.H., M.H.

Kegiatan ini diikuti oleh 100 peserta baik dari kalangan akademisi, praktisi hukum, instansi pemerintah, media, mahasiswa, tokoh masyarakat, maupun aparat kepolisian dan kejaksaan.

Dalam seminar ini dibahas berbagai isu krusial dalam RUU KUHAP, di antaranya: ketentuan yang memungkinkan penyidik menawarkan kepada tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan untuk menjadi saksi mahkota dalam perkara yang sama; perpanjangan masa penahanan oleh penyidik dari 20 hari menjadi 40 hari untuk kepentingan penyidikan; serta diperbolehkannya penyidikan dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada penuntut umum. Selain itu, dibahas pula ketiadaan mekanisme perlindungan yang kuat terhadap saksi, terutama dalam kasus yang melibatkan kekerasan oleh aparat.

Isu lainnya adalah diperkenankannya pelimpahan laporan masyarakat ke Kejaksaan apabila dalam waktu 14 hari tidak mendapatkan respons dari Kepolisian; pemberian kewenangan kepada Kejaksaan untuk mempertanyakan keabsahan proses penangkapan atau penahanan yang dilakukan oleh Kepolisian; serta kewenangan polisi untuk melakukan penangkapan lebih dari satu hari dalam kondisi tertentu, yang berpotensi membuka ruang penahanan tanpa batas waktu. Tak kalah penting, RUU ini juga memuat ketentuan bahwa advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugasnya dengan itikad baik, namun tanpa definisi yang jelas, ketentuan ini dapat menjadi bumerang dalam pelaksanaannya.

Para narasumber menekankan pentingnya penyusunan RUU KUHAP yang partisipatif dan transparan guna mencegah penyalahgunaan wewenang serta menjamin perlindungan terhadap hak-hak tersangka, saksi, dan korban.

Seminar ini diharapkan dapat memberikan masukan konstruktif terhadap proses legislasi RUU KUHAP demi terwujudnya sistem hukum acara pidana yang adil, humanis, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Selain itu, muncul pula harapan besar bahwa hukum acara pidana Indonesia harus mencerminkan nilai keadilan sosial, bukan sekadar menjadi perangkat prosedur teknis.

Seminar nasional ini juga menegaskan, pembaruan hukum tidak akan efektif tanpa keterlibatan publik. RUU KUHAP bukan sekadar kumpulan pasal, melainkan fondasi masa depan hukum acara pidana Indonesia. Jika tidak disusun berdasarkan prinsip partisipatif, transparan, dan kolaboratif, hukum berisiko menjadi alat represi, bukan instrumen keadilan.

Salah satu pakar hukum, Laode M. Syarif, menilai bahwa RUU KUHAP 2025 yang saat ini sedang diwacanakan oleh pemerintah memiliki peluang sekaligus ancaman. Peluangnya adalah adanya modernisasi hukum acara pidana, sementara ancamannya, baik pemerintah maupun DPR dinilai masih cenderung bersikap konservatif.

“Peluang lainnya adalah menyempurnakan mekanisme check and balance. Namun, ancamannya adalah aparat penegak hukum (APH), baik penyidik, penuntut umum, maupun hakim, enggan untuk diawasi. Selain itu, upaya menyeimbangkan crime control model dan due process of law juga masih menghadapi tantangan karena APH dan DPR masih cenderung berpihak pada crime control model,” ujar Laode dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Pusat Riset Ilmu Kepolisian Universitas Syiah Kuala (USK), Kamis, 17 April 2025, di Aula Moot Court Fakultas Hukum USK, Banda Aceh.

Laode M. Syarif kembali mengingatkan, “Jika kita tidak hati-hati, revisi ini bisa menjadi instrumen legal untuk kriminalisasi, intimidasi, dan pembungkaman suara publik. Negara hukum harus dibangun di atas prinsip transparansi dan akuntabilitas, bukan ketakutan,” ujarnya.

Sementara itu, pakar hukum lainnya, Dr. Alpi Sahari menegaskan bahwa kewenangan penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan prinsip Dominus Litis tidak dapat dimaknai sebagai pemisahan kewenangan, melainkan pembagian kewenangan dalam bingkai Integrated Criminal Justice System dengan Prime Mover penyidik sebagai pintu gerbang penanganan perkara.

Dijelaskannya, Dominus Litis penuntut umum yang dimaknai sebagai pemisahan kewenangan (diferensiasi fungsional) tidak selaras dengan cita-cita hukum nasional melainkan kembali pada pemberlakuan hukum acara pada zaman kolonial Belanda, yakni Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) yang sudah lama ditinggalkan sejak Tahun 1981.

Sejalan dengan itu, Prof. Dr. Rizanizarli menyoroti tujuan diadakan pembatasan kekuasaan terhadap masing-masing lembaga, agar kekuasaan tidak menumpuk pada satu lembaga, hal ini dilakukan untuk menghindari dominasi satu lembaga.

“Kekuasaan penyidikan yang dulunya menjadi dominus litis kejaksaan dipisahkan dengan diberikannya kepada pihak kepolisian. Hal ini dikuatirkan jika kekuasaan menumpuk pada satu lembaga rentan untuk disalahgunakan. Pembagian kekuasaan ini diharapkan terdapat mekanisme kontrol (beck and balances) dan saling mengawasi antar lembaga,” katanya.

Oleh karena itu, revisi KUHAP perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika masyarakat Indonesia, sekaligus meninggalkan warisan regulasi kolonial (HIR) yang sudah tidak relevan.

Nara sumber Dr. Syahrul Rizal, mengingatkan pentingnya memastikan posisi advokat tetap aman dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Ia menyoroti bahwa meskipun RUU KUHAP memuat ketentuan advokat tidak dapat dituntut selama bertindak dengan itikad baik, ketidakjelasan definisi “itikad baik” justru berpotensi menjadi pasal karet.

Dalam sesi diskusi, beberapa peserta mengusulkan agar draf RUU KUHAP dibuka untuk uji publik di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di daerah-daerah yang selama ini sering mengalami ketimpangan hukum.

“RUU ini bukan hanya urusan para ahli di Jakarta. Kami yang di daerah juga punya hak untuk didengar,” ujar seorang peserta dari LSM lokal.

Peserta lainnya menyampaikan pandangan bahwa asas dominus litis yang dianut Kejaksaan belum sepenuhnya harmonis dengan pandangan para ahli dan narasumber dalam seminar ini. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait perluasan kewenangan Kejaksaan, padahal pelaksanaan kewenangan yang ada saat ini pun dinilai belum optimal.

Sebagai kesimpulan, seluruh narasumber sepakat bahwa RUU KUHAP berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antarlembaga penegak hukum, khususnya antara Polri dan Kejaksaan. Oleh karena itu, RUU ini perlu dirancang dengan menekankan aspek koordinasi dan pengawasan antarlembaga secara lebih tegas dan sistematis.

RUU KUHAP sejatinya diharapkan menjadi instrumen pembaruan hukum acara pidana yang progresif, adaptif, dan memperkuat sinergi antar-lembaga penegak hukum, bukan malah menciptakan potensi konflik kewenangan.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *