JAKARTA — Keluhan para pengusaha terhadap praktik pungutan oleh oknum organisasi masyarakat (ormas) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) hingga kini belum terselesaikan. Fenomena ini disebut semakin menggerus kepercayaan investor dan berpotensi memicu kerugian ekonomi hingga ratusan triliun rupiah.
Menurut sejumlah pengusaha, permintaan dana oleh oknum ormas kerap mengatasnamakan “jasa keamanan” atau “pemeliharaan ketertiban”, terutama menjelang momen seperti Lebaran.
Selain itu, pemilik usaha juga kerap dipaksa memenuhi tuntutan tunjangan hari raya (THR), menjadi mitra vendor katering, penyedia transportasi, hingga keterlibatan dalam proyek konstruksi dan pengelolaan limbah.
Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI), Sanny Iskandar, mengungkapkan, praktik pemerasan ini tidak hanya membebani pengusaha, tetapi juga menghambat masuknya investasi ke Indonesia. Potensi kerugiannya mencapai ratusan triliun rupiah, baik dari biaya yang harus ditanggung investor maupun investasi yang batal masuk.
“Itu sih udah pasti, menurut saya itu bisa dikatakan udah kalau dihitung semuanya ya, ngitungnya bukan cuma yang keluar, tapi yang enggak jadi masuk juga. Itu bisa ratusan triliun juga tuh. Ratusan triliun,” ujar Sanny di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Jakarta, dikutip pada Sabtu (15/03/2025).
Ia menambahkan, meski masalah ini telah menjadi keluhan klasik selama bertahun-tahun, pemerintah dinilai lamban menindak tegas oknum yang terlibat.
“Ini bukan sekadar urusan pungutan liar, tapi sudah mengganggu iklim usaha dan daya saing Indonesia di mata global,” ujarnya.
Sanny menjelaskan bahwa ormas kerap menimbulkan gangguan keamanan dengan masuk ke kawasan industri dan melakukan unjuk rasa.
“Padahal itu orang (ormas bikin resah) dari daerah-daerah enggak jelas juga, dari jauh-jauh juga, pokoknya kita ini minta jatah kita, harus diberikan ke kita. Kan enggak bisa.
Zaman sekarang perusahaan kan untuk menentukan segala sesuatu kan harus melalui proses tender,” jelasnya.
Ia berujar, pemerintah selama ini seringkali mengaitkan seretnya investasi yang masuk ke Indonesia dengan infrastruktur hingga insentif pajak yang masih minim.
Padahal, kata Sanny, investor sebenarnya juga sangat membutuhkan kepastian hukum dan sangat berharap jaminan keamanan operasional bisnisnya di Indonesia.[]
Sumber Kompas.com