Saat ini di Aceh demikian luas sudah beredar Surat Keputusan pengangkatan Staf khusus di jajaran petinggi politik Aceh (Gubernur Aceh).
Juga selanjutnya menyusul pada kelembagaan di bawah jajaran Gubernur serta Pemerintahan Aceh ikut ditanda tangani oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, untuk Lembaga, badan dan mungkin juga akan segera menyusul dalam lingkungan Satuan Kerja Pemerintah Aceh SKPA) atau Dinas di Pemerintahan Aceh.
Jika ini merupakan upaya bagi-bagi jabatan, sebaiknya dihentikan segera oleh Gubernur Aceh.
Karena secara langsung dan tidak langsung akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), ditengah efisiensi anggaran yang diterapkan oleh Pemerintah Republimk Indonesia (RI), menghadapi korupsi-korupsi besar, defisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara saat ini pada triwulan pertama sebesar Rp 31.2 triliun, kemiskina dan penganggunran yang tinggi, kebijakan fiscal dan moneter yang sangat sedang bermasalah besar dan buruk.
Termasuk kerja-kerja inefisiensi ditengah gegap gempita menyatakan efisiensi anggaran berlanaj, sehingga antara ucapan, kebijakan, dan pelaksanaa atau implementasinya tidak konsisten.
Saat ini juga negara sedang berhadapan dengan masalah besar ditengah gempuran asing dan aseng, serta berbagai bentuk penjajahan baru untuk menguasai sumber daya alam (resouces) dan sumber daya ekonomi, untuk kepentingan politik, ekonomi, oligarki, kelompok serta partai politik.
Jadi bukan untuk kepentingan rakyat, maka pasca pesta demokrasi perilaklu politik elite kembali untuk kepentingan pribadi, partai dan kelompoknya, maka rakyat harus tahu diri, termasuk rakyat Aceh yang serlam ini diming-iming dengan janji kampanye politik konyol.
Demikian juga anggaran belanja APBA, ini akan sebahagian besar terserap untuk kegiatan belanja barang dan jasa birokrasi, pemerintahan, Lembaga, badan dan SKPA/Dinas menghabiskan sekitar 70-80 persen anggaran belanja.
Juga dengan secara jor-joran serta ugal-ugalan merekrut tim khusus, staf khusus sebagai bukti bahwa, integritas serta komptensi elite dan Pemimpin Aceh sangat tidak mumpuni, kapabel dan sangat diragukan memimpin serta mengurus rakyat Aceh sekitar dan atau sebanyak 5,8 juta jiwa.
Secara anggaran APBA, ini akan sangat terkuras, terganggu mencapai milyaran rupiah pertahunnya. Jika satu staf khusus di Lembaga/badan/dinas sekitar 7 orang, per orang digaji Rp 4 juta, maka perbulkan serta pertahunnya mencapai milyaran rupiah termasuk fasilitas serta prasaran dan sarana rapatnya.
Kemudian staf khusus Gubernur Aceh sebanyak 10 orang, dengan gaji sekitar Rp 10-15 juta, ditambah fasilitas, sarana dan prasaran rapat lainnya, per-tahunnya juga mencapai milyaran rupiah, sehingga secara postur anggaran APBA akan sangat membebani serta menggangu, merusak kepentingan rakyat Aceh, karena staf khusus lebih diperhatikan dan dipentingkan untuk masukan serta saran dalam pengambilan kebijakan politik, ekonomi, anggaran dan lain sebagainya.
Sementara itu Aceh sebagai bahagian integral Indonesia, masih sangat tergantung serta berharap dari kucuran dana, anggara dan uang dari pemerinrtah pusat Indonesia, maka akan berlaku “patroness and client” dalam praktik manajemen Pemerintah Pusat dengan Aceh, sehingga Penguasa/ Pemimpin Aceh sangat tergantung kepada pusat, jika tidak melalui kebijakan politik anggaran saja mesti mengemis-ngemis, mengadu serta mendapatkan belas kasihan dari Pemerintah Pusat Jakarta.
Apakah ini yang dibanggakan oleh elite politik, pemimpin dan penguasa Aceh yang tidak berintegritas serta “low of leaderships” hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang lalu. Sehingga mesti demikian uga-ugalan menambah staf khusus untuk berfikir menetapkan serta menfgambil keputrusan politik dan kebijakan untuk Aceh.
Meskipun alasan percepatan kerja Gubernur Aceh, itu semuia omong kosong atau “bulsit”, karena dapat dipastikan akan mengganngu kinerja, membebani, anggaran APBA. Kemudian belum lagi ada tim lainnya yang banyak dipastikan akan dibentuk, karena ingin menyenangkan berbagai jabatan dan kepentingan politik, sehingga semua kebijakan dan keputusan kepentingan politik Gubernur tidak lagi untuk rakyat.
Demikian juga, kita akan saksikan serta buktikan 100 hari kerja Gubernur Aceh, meskipun tidak ada aturan serta undang-undang berkaitan dengan 100 hari dapat dievaluasi kinerjanya. Akan tetrap dalam penerapan sistem manajemen pemerintahan modern, ini akan memperlihatkan arah serta gambaran kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya serta seluruh elemen kehidupan rakyat akan tergambarkan.
Apakah semakin baik, cerah dan atau akan memiliki masalah besar, juga secara terselubung ada aganeda politik daerah dan nasional yang sulit ditebak berlaku.
Demikian juga, dengan demikian banyaknya staf khusus akan dapat membuktikan arah kebijakan politik menjadikan Aceh menjadi lebih baik, maju, berkembanfg, membangun, merata, adil, makmur serta sejahtera, sebagaimana ditunangkan dalam draf konsep Visi-Misi Gubernur Aceh yang dilantik. Meski disadari bahwa Gubernur Aceh dilantik oleh Pemerinrtah Pusat Jakarta, mesti mernjadi perpanjangan tangan pusat, selras dengan arah kebijakan pusat, maka berlaku praktik kebijakan politik dan pemerintaha “patroness and client”.
Demikian juga hal ini mesti dipahami dan disadari oleh para staf khusus, bahwa kebijakan politik Gubernur dan Pemerintahan Aceh mesti selaras dengan Pemerintah Pusat Jakarta. Jadi hanya sebatas hubungan “cuan dan tuan” tidak terlalu istimewa dan khusus bagi Aceh ditengah berbagai persoalan besar nasional dan daerah sangat memprihatinkan kehidupan rakyat.
Secara realitas rakyat Aceh saat ini sedang susah dan tanpa kepastian terhadap kehidupan masa depan, sehingga tidak perlu terlalu bangga dan bangga-banggaan dengan SK Staf Khusus yang jelas-jelas akan membebani dan menggung anggaran APBA, sementara itu belum ada jamin kompetensinya menjadikan Aceh dan atau rakyat Aceh lebih baik, Makmur dan sejahtera.
——————
Oleh Dr. Taufi A Rahim ;
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik