MANILA — Wakil Presiden (Wapres) Filipina Sara Duterte melontarkan kritik pedas menyusul penahanan ayahnya, mantan Presiden Rodrigo Duterte, oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Sara merupakan putri dari Rodrigo Duterte.
Rodrigo ditangkap di Bandara Internasional Manila usai kembali dari Hong Kong, sebelum dibawa ke Den Haag, Belanda, untuk menghadapi persidangan atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait kebijakan perang narkoba selama masa kepemimpinannya (2016–2022).
Sara meski tengah menghadapi proses pemakzulan yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Filipina pada Februari 2025, namun dia masih tetap menjabat sebagai wakil presiden. Statusnya baru akan ditinjau setelah keputusan final dari persidangan Senat.
Dalam pernyataannya, Sara menyebut penahanan Rodrigo sebagai bentuk “penindasan sistematis” terhadap keluarganya.
Kritik serupa disuarakan anggota keluarga lain, termasuk Veronica Duterte, putri bungsu Rodrigo. Melalui unggahan Instagram, Veronica menyatakan kemarahan atas ketiadaan transparansi tujuan penerbangan ayahnya.
“Mereka mengambil ayah dari kami, menempatkannya di pesawat dan tidak memberi tahu ke mana. Orang-orang, bangunlah,” tulis Veronica Duterte di Instagram dengan gambar satu bus kecil di lapangan terbang.
Tuntutan keadilan dalam perang narkoba Duterte tampaknya berjalan “sejalan” dengan kepentingan politik penggantinya, Presiden Ferdinand Marcos Jr.
Keluarga Duterte dan Marcos membentuk aliansi yang tangguh dalam pemilihan umum terakhir tahun 2022, di mana bertentangan dengan keinginan Rodrigo Duterte, putrinya Sara mencalonkan diri sebagai wakil presiden Marcos Jr, alih-alih menggantikan jabatan ayahnya.
Hubungan itu memburuk di depan publik dalam beberapa bulan terakhir karena kedua keluarga mengejar agenda politik yang berbeda.
Marcos awalnya menolak bekerja sama dengan penyelidikan ICC, tetapi karena hubungannya dengan keluarga Duterte memburuk, dia mengubah pendiriannya, dan kemudian mengindikasikan Filipina akan bekerja sama.
Perang Melawan Narkoba
Duterte menjabat sebagai wali kota Davao, kota metropolitan selatan yang luas, selama 22 tahun dan menjadikannya salah satu kota teraman di negara itu dari kejahatan jalanan.
Dia memanfaatkan reputasi kota yang damai dan tertib untuk menampilkan dirinya sebagai politisi anti kemapanan yang tegas dan memenangkan pemilihan umum 2016 dengan telak.
Dengan retorika yang berapi-api, dia mengerahkan pasukan keamanan untuk menembak mati tersangka narkoba.
Lebih dari 6.000 tersangka ditembak mati oleh polisi atau penyerang tak dikenal selama kampanye, tetapi kelompok hak asasi manusia mengatakan jumlahnya bisa lebih tinggi.[]
Sumber Sindonews