Dalam Islam, sosok Nabi Muhammad saw. merupakan teladan utama dalam memimpin negara. Beliau tidak hanya berhasil menyatukan berbagai suku dan kelompok di jazirah Arab, tetapi juga menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Khutbah I
الحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ. القَائِلِ فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْاۗ اِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ (المائدة: ٨). وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ المُصَلُّونَ. اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah
Pemimpin adalah tokoh sentral dalam kemajuan bangsa. Jika pemimpin baik, maka bangsa akan maju, begitu juga sebaliknya. Indonesia adalah negara besar yang telah mengalami beberapa kepemimpinan sepanjang sejarah. Problem kepemimpinan selalu muncul di tengah masyarakat Indonesia dari level tertinggi hingga terendah.
Untuk mendapatkan gambaran pemimpin yang ideal, kita dapat melihat sosok Nabi Muhammad saw yang telah berhasil menanamkan keadilan dalam pemerintahan dan membawa Madinah menjadi kota yang maju melampaui masanya.
Hal ini tidak terlepas dari sikap tegas Nabi Muhammad dalam mengambil kebijakan yang berkeadilan. Nabi tidak pernah membedakan perlakuan kepada orang yang terhormat dan rakyat biasa di depan hukum, bahkan kepada keluarga sendiri. Dalam sebuah riwayat yang dikutip Al-Bukhari dalam kitab Shahih al-Bukhari, juz 4, halaman 175, meriwayatkan hadis sebagai
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ المَرْأَةِ المَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ، فَقَالُوا: وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالُوا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ، ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ، أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الحَدَّ، وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Artinya: “Dari Aisyah ra., bangsa Quraisy pernah mengalami konflik kepentingan dalam kasus pencurian yang dilakukan oleh seorang wanita bangsawan dari suku Makhzumiyah. Mereka berdiskusi: siapa yang bisa menyampaikan amnesti ini kepada Rasulullah? Mereka memutuskan: tidak ada yang berani menyampaikan ini, kecuali Usamah ibn Zaid, orang yang dicintai Rasulullah. Usamah ibn Zaid menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah. Rasulullah tegas merespons: apakah kamu berani memberikan amnesti hukum yang telah ditetapkan Allah?! Nabi kemudian bangun dan berkata: sesungguhnya hal yang menjadikan umat terdahulu hancur (dibenci Allah) adalah mereka tidak menjatuhkan hukuman kepada orang yang terhormat jika melakukan pencurian, tetapi mereka menjatuhkan hukuman kepada orang lemah yang melakukan pencurian. Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, maka sungguh aku potong tangannya (sebagai balasan pencurian).”
Fenomena di atas rasanya akan sulit kita dapati dari pemimpin di era sekarang yang terkesan memberikan perlindungan terhadap keluarga, kerabat, dan orang-orang terdekat yang terlibat kasus hukum. Keadilan hukum lebih banyak ditegakkan kepada orang lemah, rakyat biasa, atau orang-orang yang tidak berada di lingkungan kekuasaan. Hal ini menjadi perhatian Allah ketika menurunkan Al-Qur’an, surat Al-Maidah, ayat 8:
ياَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْاۗ اِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah
Keadilan harus ditegakkan kepada siapa saja, tanpa memandang strata kehidupan seseorang dalam aspek sosial, politik, ekonomi, dan lainnya. Hal ini adalah warisan Nabi yang dipertahankan oleh para pemimpin/khalifah setelah kenabian. Abu Bakar As-Shiddiq, khalifah pertama setelah Nabi wafat, ketika dipilih dan diangkat menjadi pemimpin, ia memastikan keadilan yang akan ditegakkan tidak memandang status seseorang. Orang yang punya kekuasaan tidak akan mendapatkan keistimewaan di depan hukum, dan rakyat biasa akan mendapatkan jaminan keadilan. Pidato kepemimpinan Abu Bakar ini diriwayatkan Ma’mar ibn Rasyid dalam kitab Jami’ Ma’mar ibn Rasyid, juz 11, halaman 336:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ وُلِّيتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ، فَإِنْ ضَعُفْتُ فَقَوِّمُونِي، وَإِنْ أَحْسَنْتُ فَأَعِينُونِي، الصِّدْقُ أَمَانَةٌ، وَالْكَذِبُ خِيَانَةٌ، الضَّعِيفُ فِيكُمُ الْقَوِيُّ عِنْدِي حَتَّى أُزِيحَ عَلَيْهِ حَقَّهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، وَالْقَوِيُّ فِيكُمُ الضَّعِيفُ عِنْدِي حَتَّى آخُذَ مِنْهُ الْحَقَّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Artinya: “Wahai manusia, aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian, padahal aku bukan orang terbaik dari kalian. Jika aku salah, maka ingatkan aku. Jika aku benar, maka dukung aku. Kejujuran adalah tanggung jawab. Kebohongan adalah penghianatan. Rakyat biasa adalah orang terhormat bagiku sampai aku bisa memberikan haknya, sedangkan bangsawan adalah rakyat biasa bagiku sampai aku bisa menegakkan keadilan dengan mengambil haknya.”
Selain Abu Bakar, sosok Umar ibn al-Khaththab juga telah berhasil menegakkan keadilan yang diwariskan Nabi. Umar tidak pernah memberikan fasilitas kerajaan kepada keluarganya, bahkan keluarganya sering diingatkan agar tidak memanfaatkan jabatan Khalifah Umar untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain yang kita kenal sebagai gratifikasi saat ini. Umar juga selalu berpesan kepada para pejabat di lingkungannya agar berlaku adil kepada siapa saja di depan hukum. Umar menulis pesan kepada Abu Musa Al-Asy’ari sebagaimana yang dikutip Al-Baihaqi dalam kitab Al-Sunan al-Kubra, juz 10, halaman 229:
فَإِنَّ الْقَضَاءَ فَرِيضَةٌ مُحْكَمَةٌ، وَسُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ، افْهَمْ إِذَا أُدْلِيَ إِلَيْكَ، فَإِنَّهُ لَا يَنْفَعُ كَلِمَةُ حَقٍّ لَا نَفَاذَ لَهُ، آسِ بَيْنَ النَّاسِ فِي وَجْهِكَ وَمَجْلِسِكَ وَعَدْلِكَ ، حَتَّى لَا يَطْمَعَ شَرِيفٌ فِي حَيْفِكَ ، وَلَا يَخَافَ ضَعِيفٌ مِنْ جَوْرِكَ.
Artinya: “Kepemimpinan adalah kewajiban yang harus dipatuhi dan juga warisan Nabi yang harus diikuti. Pahamilah permasalahan dengan baik jika ada orang yang mengadukan sesuatu kepadamu karena slogan kebenaran tidak berguna jika tidak dipraktikkan. Berikan kesetaraan dalam perlakuanmu kepada semua orang, sampai orang bangsawan tidak akan merasa tenang dan aman karena tidak tersentuh hukum dan rakyat biasa tidak merasa pesimis karena kezalimanmu.”
Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah
Pemimpin adil merupakan sosok penting dalam perjalanan sebuah bangsa. Oleh karena itu, Nabi memposisikannya sebagai orang pertama yang akan mendapatkan naungan dari Allah di hari kiamat. Hal ini diriwayatkan al-Bukhari dalam kitab Shahih al-Bukhari, juz 1, halaman 133:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ، يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: الإِمَامُ العَادِلُ
Artinya: Tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah pada hari tidak ada naungan, kecuali dari Allah. Pertama, pemimpin yang adil. Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah Semoga kita mendapatkan pemimpin yang adil untuk bangsa Indonesia, sehingga kita mendapatkan kemakmuran dan keridhaan Allah swt. Amin, ya Rabb al-‘Alamin.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah II
الْحَمْدُ لِلّٰهِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ بنِ عَبدِ الله وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القِيَامَة. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ المُسلِمُونَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَاعلَمُوا إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَواْ وَّٱلَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ. قَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ. اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
عِبَادَاللهِ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَر
Dikutip dari Islam.nu.or.id